Mengenang Keretapi Zaman Kolonial

Pameran keretapi zaman kolonial bukan sekadar mengenangnya. Tapi ada usaha untuk menghidupkan kembali jalur-jalurnya.

OLEH: ARYONO 

Lokomotif NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) di Jawa, 1880. Foto: KITLV.

PERNAK-pernik keretapi era Hindia Belanda, mulai dari arsip, miniatur kereta dan stasiun, foto-foto, hingga diorama, dipajang di galeri Erasmus Huis, kompleks Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Pameran bertajuk “The History Of Indonesian Railways” berlangsung dari 24 September sampai 20 Oktober 2013.

Menurut Ton van Zeeland, direktur Teater dan Galeri Erasmus Huis, sejarah perkeretapian di Indonesia selalu menarik dan penuh warna. “Dengan pembangunan jalur keretapi pertama di Hindia Belanda pada 1864 membuat banyak orang hilir mudik melewati daerah-daerah yang semula terisolir,” ujar Ton dalam pembukaan pameran itu.

Jalur keretapi pertama sepanjang 26 kilometer menghubungkan Semarang-Kemijen-Tanggung Jawa Tengah. “Konstruksi jalur keretapi pertama awalnya untuk tujuan komersial. Yaitu melayani pengangkutan hasil perkebunan dari pedalaman Jawa Tengah menuju pelabuhan Semarang,” ujar Ella Ubaidi, executive vice president Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan PT Kereta Api Indonesia.

Setelah merampungkan jalur Semarang-Tanggung, berturut-turut jalur keretapi lain pun dibangun. Di antaranya jalur Tanggung-Kedungjati pada 19 Juli 1868, Kedungjati-Solo (10 Februari 1870), Solo-Ceper (27 Maret 1871), Ceper-Klaten (9 Juli 1871), dan Klaten-Yogya (10 Juni 1872). Pembangunan jalur-jalur keretapi ini menghubungkan pesisir utara Jawa dengan daerah-daerah pedalaman.

“Sejarah keretapi pula yang menjadi faktor pengikat antardaerah di negeri yang luas ini,” kata Ton.

Bersamaan dengan Belanda angkat kaki dari Indonesia, aset-asetnya termasuk sistem keretapi perlahan surut. Seperti stasiun Kemijen, salah satu stasiun pertama di jalur Semarang-Tanggung, yang terletak kurang lebih sekilo meter dari stasiun Tawang Semarang, hilang terendam rob. Bahkan jalur kereta api Kedungjati-Tuntang, bagian dari jalur Kedungjati-Ambarawa sejak 1871, tidak beroperasi terhitung 1 Juni 1970.

PT KAI berusaha mengelola aset-aset keretapi peninggalan kolonial dengan membentuk Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan pada tahun 2009. Tujuannya, menyelamatkan serta melestarikan berbagai aset peninggalan perkeretapian. Unit ini bekerja sama dengan pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, menyelenggarakan pameran tersebut.

“Dengan menampilkan jejak-jejak bersejarah dari perkeretapian di Indonesia kepada masyarakat kami berharap muncul kesadaran dari masyarakat menghargai benda cagar budaya,” ujar Ella Ubaidi.

Dalam kesempatan itu pula, Ella menegaskan kembali, bahwa dalam waktu dekat, jalur lama dari Kedungjati menuju Tuntang akan dioperasikan kembali. “Kedungjati ke Tuntang itu sudah pasti. Dan keretanya akan disiapkan kereta modern. Sementara kereta lama hanya akan digunakan untuk kepentingan wisata sejarah,” ujarnya. Keinginan PT KAI menghidupkan kembali jalur keretapi zaman kolonial mendapat tanggapan baik. “Dengan menyusuri jalur lama tersebut, maka kita seperti kembali ke masa lalu. Melewati stasiun-stasiun peninggalan kolonial. Kemudian suara mesin uap, laju kereta yang perlahan, pemandangan alam di kanan kiri tentu merupakan kenangan tersendiri,” pungkas Ton.


0 komentar:

Posting Komentar