Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Mahalnya Elpiji di Negeri Kaya Gas

 Dijual murah ke China, Indonesia rugi Rp 30 triliun per tahun. 

Warung makan itu berukuran tiga kali empat meter. Berdinding bata. Cukup strategis. Jaraknya 30 meter dari Stasiun Gondangdia, Jakarta.

Siang itu, Jumat di awal Januari, warung tampak sepi. Lauk pauk dan sayur yang tersaji masih cukup lengkap. Pemilik warung itu, Nur Sidiq, tak tampak sibuk.

Saat itu adalah hari ketiga setelah PT Pertamina menaikkan harga elpiji ukuran 12 kilogram. Rata-rata kenaikan yang berlaku per 1 Januari 2014 itu Rp 3.959 per kilogram.

Meski sudah tahu soal adanya kenaikan harga itu, tapi Nur terkejut saat hendak membeli tabung elpiji 12 kg. Harganya kini melonjak drastis. "Tadinya harga elpiji 12 kg itu Rp 81 ribu. Tapi, waktu mau beli, kok harganya jadi Rp 133 ribu," kata dia kepada VIVAnews. Ia bicara dengan nada sedikit murka.

Elpiji 12 kg bukan barang baru bagi Nur. Tabung biru itu telah “menghidupi” keluarganya selama bertahun-tahun. Elpiji dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak di warungnya.

Namun, harga elpiji yang melonjak, bakal memangkas keuntungan usahanya. Awalnya, kenaikan harga tak tanggung-tanggung, lebih dari 60 persen. Sebelum akhirnya direvisi hanya naik Rp 1.000 per kg, atau sekitar 17,3 persen.

Keputusan kenaikan harga elpiji itu bukan tanpa dasar. Pertamina memakai patokan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas implementasi kebijakan energi nasional sektor gas.

Pemeriksaan dilakukan pada area pendistribusian elpiji pada 2011 dan 2012. Tujuan pemeriksaan adalah menilai efisiensi dan efektivitas pendistribusian elpiji dan tabung elpiji Pertamina.

Sub sasarannya di antaranya adalah menilai apakah perencanaan kegiatan pendistribusian dan penentuan harga elpiji telah dilakukan secara memadai, memiliki justifikasi, dan memenuhi kriteria penetapan perencanaan yang baik.

Hasil pemeriksaan BPK

Kesimpulan BPK menunjukkan kegiatan pendistribusian elpiji oleh Pertamina secara nasional sudah efektif. Efektivitas itu tercermin dari pasokan elpiji dari Pertamina yang telah menjangkau daerah-daerah terkonversi secara cukup. Baik dari sisi volume maupun ketepatan waktu.

Penyaluran elpiji itu dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu distribusi elpiji public service obligation (PSO) ke daerah terkonversi dan distribusi elpiji non PSO ke seluruh Indonesia.

Walaupun pendistribusian elpiji secara umum telah efektif, Pertamina menghadapi kendala besar. “Terutama terkait dengan kontinuitas pendistribusian dalam jangka panjang,” tulis laporan BPK itu.

Kendala itu terkait kerugian Pertamina dalam bisnis elpiji non PSO. Karena harga jual yang ditetapkan lebih rendah dari harga penyediaannya. Kondisi itu dapat mengganggu kontinuitas pendistribusian elpiji jangka panjang.

Menurut hasil pemeriksaan BPK itu, kemampuan finansial Pertamina dalam jangka panjang akan menurun, karena menanggung kerugian atas pendistribusian elpiji 12 kg dan 50 kg selama 2011 hingga Oktober 2012. Nilai kerugian itu sebesar Rp 7,73 triliun.

Kerugian itu berdampak pada ketidakmampuan Pertamina melakukan kegiatan perawatan atas sarana dan fasilitas pendistribusian elpijinya. Dalam jangka panjang, kondisi itu dapat membuat kualitas elpiji maupun sarana pendukungnya berpotensi tidak dapat dipertahankan.

Saat pemeriksaan dilakukan, Pertamina belum memiliki fasilitas storage yang memadai, maupun lainnya yang menunjang bongkar muat memadai. “Dengan luasan area pendistribusian yang terdiri atas daerah kepulauan, ikut menyebabkan biaya distribusi menjadi mahal,” tulis laporan itu.

Situasi itu mengakibatkan kontinuitas pendistribusian elpiji jangka panjang akan terganggu. Kemampuan finansial Pertamina dalam jangka panjang pun akan menurun.

Pemerintah pun berpotensi kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan dividen dari Pertamina yang lebih besar, akibat kerugian dari bisnis elpiji non PSO. Karena, penetapan harga jual elpiji non PSO, khususnya 12 kg, lebih rendah dari harga penyediaannya.

Pertamina sebelumnya tidak menaikkan harga jual elpiji tabung 12 kg karena masih mempertimbangkan kata “dilaporkan kepada Menteri” dalam pasal 25 Permen ESDM No. 26 Tahun 2009, sebagai sesuatu yang mengikat dan harus mendapatkan persetujuan pemerintah.

Tak hanya itu, Pertamina belum memanfaatkan secara optimal sumber dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan elpiji. Untuk pemenuhan kebutuhan elpiji dalam negeri, Pertamina memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap elpiji impor.

Data terakhir pada 2012 menunjukkan impor elpiji telah melebihi produksi dalam negeri. Padahal, Pertamina sebenarnya telah memiliki strategi pengadaan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP).

Namun, strategi itu belum diterjemahkan dalam workplan yang komprehensif untuk memenuhi kebutuhan elpiji, dengan memaksimalkan sumber dari dalam negeri.

Akibatnya, terjadi peningkatan volume elpiji impor yang berdampak pada peningkatan biaya pengadaan dan transportasi sebesar US$ 48 per metrik ton pada 2011. Sementara itu, untuk 2012 sebesar US$ 116 per metrik ton.

“Hal itu juga meningkatkan risiko jangka panjang ketersediaan elpiji dalam negeri, karena ketergantungan pasokan dari impor,” tulis laporan itu.

Dari hasil pemeriksaan tersebut, BPK di antaranya merekomendasikan Pertamina agar menaikkan harga elpiji tabung 12 kg. Kenaikan itu sesuai harga perolehan untuk mengurangi kerugian Pertamina.

Upaya itu dengan mempertimbangkan harga patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Sesuai Permen ESDM No. 26 Tahun 2009, Pertamina selanjutnya melaporkan kenaikan harga elpiji 12 kg tersebut kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Polemik kenaikan harga

Keputusan Pertamina menaikkan harga elpiji non subsidi kemasan 12 kg, sesuai rekomendasi BPK itu, ternyata tak semulus dibayangkan. Reaksi keras muncul dari konsumen rumah tangga hingga pelaku usaha.

Pertamina berdalih, dengan konsumsi elpiji non subsidi 12 kg tahun 2013 yang mencapai 977.000 ton, harga pokok perolehan elpiji rata-rata meningkat menjadi US$873 per metrik ton.

Sementara itu, nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar, memicu kerugian Pertamina sepanjang 2013 diperkirakan mencapai lebih dari Rp 5,7 triliun. Kerugian itu timbul akibat dari harga jual Elpiji non subsidi 12 kg yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan.

Harga sebelum kenaikan adalah harga yang ditetapkan pada Oktober 2009, yaitu Rp 5.850 per kg. Sementara itu, harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp 10.785 per kg.

Dengan kondisi ini, Pertamina selama ini telah "jual rugi" dan menanggung selisihnya, sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp 22 triliun dalam 6 tahun terakhir.

“Kondisi ini tentunya tidak sehat secara korporasi, karena tidak mendukung Pertamina dalam menjamin keberlangsungan pasokan elpiji kepada masyarakat," kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir.

Awalnya, mulai 1 Januari 2014 pukul 00.00 WIB, Pertamina memberlakukan harga baru elpiji non subsidi kemasan 12 kg secara serentak di seluruh Indonesia dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen Rp 3.959 per kg. Besaran kenaikan di tingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point).

Dengan kenaikan ini pun, Pertamina mengklaim masih "jual rugi" kepada konsumen elpiji non subsidi kemasan 12 kg sebesar Rp 2.100 per kg. Kenaikan harga tersebut akan berdampak pada tambahan pengeluaran hingga Rp 47.000 per bulan, atau Rp 1.566 per hari.

Klaim Pertamina bahwa kenaikan harga tidak banyak berpengaruh pada daya beli masyarakat, pun tak terbukti. Banyak pelaku usaha kecil menjerit. Di sejumlah daerah, kenaikan harga elpiji itu sempat liar.

Seolah tak ingin berlama-lama merespons lonjakan harga elpiji itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menggelar rapat kabinet terbatas Minggu, 5 Januari lalu. Presiden meminta Pertamina meninjau ulang kebijakan korporasi itu.

Rapat konsultasi pemerintah dan Badan Pemeriksa Keuangan pun digelar keesokan harinya. Selanjutnya, setelah menggelar rapat umum pemegang saham, Pertamina akhirnya merevisi kenaikan harga elpiji 12 kg menjadi Rp 1.000 per kg.

Dengan revisi ini, kenaikan harga per tabung elpiji non subsidi 12 kg rata-rata Rp 14.200 per tabung. Harga per tabung elpiji non subsidi 12 kg di tingkat agen menjadi Rp 89.000 hingga Rp 120.100 terhitung mulai 7 Januari 2014, pukul 00.00 WIB.

Pertamina sendiri telah mengajukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2014 yang menyangkut proyeksi kerugian bisnis elpiji 12 kg. Kerugian Pertamina akan menjadi US$ 0,51 miliar atau sekitar Rp 5,4 triliun, dengan asumsi kurs Rp 10.500 per dolar.

“Dengan kondisi tersebut, proyeksi pertumbuhan profit turun dari 13,17 persen menjadi 5,65 persen,” ujar Ali.

Meski telah dinaikkan, Pertamina mengklaim, harga yang berlaku saat ini masih lebih rendah di kawasan Asia, bahkan dunia.

Sebelum kenaikan, harga jual elpiji biru ini Rp 5.850 per kg. Pada 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga jual menjadi Rp 9.809 per kg. Namun, setelah direvisi, harga jual elpiji menjadi sekitar Rp 6.850 per kg.

Dengan harga jual itu, berdasarkan data yang diperoleh VIVAnews dari Pertamina, harga elpiji non subsidi rumah tangga di Indonesia masih cukup murah. Di India, harga jual elpiji dipatok Rp 12.600 per kg.

Negara tetangga Indonesia, seperti Filipina, bahkan menjualnya di atas Rp 20.000 per kg, yaitu mencapai Rp 24.000 per kg. China, Korea Selatan, dan Jepang juga menjual elpiji di atas harga jual India, tapi masih di bawah Filipina.

Bisnis elpiji 12 kg selama ini selalu merugi, karena Pertamina harus menjual di bawah harga produksi. Harga jual rata-rata Rp 4.944 per kg, sedangkan biaya produksi Rp 10.785 per kg, sehingga terjadi selisih Rp 5.841 per kg, yang dicatat sebagai kerugian.

Pertamina mencatat bahwa harga elpiji 12 kg tidak pernah dinaikkan sejak Oktober 2009. Pada bulan itu, Pertamina menaikkan harga jual elpiji Rp 5.850 per kg dari sebelumnya Rp 5.750 per kg pada Agustus 2008. Saat itu, biaya produksi Rp 7.174 per kg.

Kenaikan harga belum dilakukan hingga akhir 2013, meski biaya produksi meningkat menjadi Rp 10.165 per kg. "Sejak 2009, harga CP (contract price) Aramco telah meningkat Rp 3.790 per kg, sedangkan harga jual elpiji 12 kg tidak meningkat," kata manajemen perusahaan pelat merah itu.

Pada Oktober 2009, harga Aramco sebesar US$ 513 per metrik ton. Pada 2013, harganya meningkat menjadi US$ 873 per metrik ton.

Harga keekonomian

Lantas, berapa sebenarnya harga keekonomian elpiji itu? Beberapa kalangan memperkirakan harga keekonomian elpiji sekitar Rp 16.000 per kg.

Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya, mengatakan, pemain lain tidak mau masuk, karena harganya masih di bawah harga keekonomian. Sebenarnya, Pertamina berharap, suatu saat bisa mencapai harga keekonomian.

Namun, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan, konsumen elpiji 12 kg yang umumnya kalangan menengah ke atas, sebenarnya lebih mengutamakan keberlanjutan pasokan dan kualitas produk, dibandingkan harga.

"Kelas menengah umumnya tidak terlalu sensitif dengan harga," ujar Tulus dalam keterangan tertulisnya.

Ia melanjutkan, secara alamiah, harga memang menjadi pertimbangan bagi semua konsumen, namun bagi kalangan menengah, hal itu bukanlah yang utama.

Hal senada dikemukakan pengamat energi Komaidi Notonegoro. "Paling utama ketersediaan pasokan, lalu kualitas produk, dan baru harga. Artinya, selama pasokan dan kualitas terjamin, harga menjadi tidak masalah," katanya.

Untuk itu, Tulus mengatakan, jaminan ketersediaan elpiji menjadi penting. Sebab, sering kali pasokan tersendat, sehingga harga mengalami kenaikan di luar ketentuan.

Saat ini, komposisi impor elpiji mencapai 59 persen dan sisanya domestik. Dari proporsi domestik tersebut, sebanyak 30,7 persen berasal dari produksi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan 10,1 persen eks kilang Pertamina.

Total kebutuhan elpiji, sesuai realisasi 2013 mencapai 5,6 juta metrik ton per tahun. Sebanyak 4,4 juta ton adalah elpiji PSO atau kemasan 3 kg, dan elpiji 12 kg sebanyak 970 ribu metrik ton. “Jadi, elpiji 12 kg hanya sekitar 17 persen dari kebutuhan nasional,” tutur Hanung.

Pada 2014, total produksi dalam negeri mencapai 6,1-6,2 juta ton. Semua produksi elpiji domestik saat ini sudah dibeli Pertamina. Meskipun untuk menjaga keseimbangan kebutuhan, terpaksa harus impor.

“Untuk itu, diharapkan dalam waktu dekat ada peningkatan produksi domestik, sehingga impor bisa dikurangi,” ujarnya.

Menteri Keuangan, Chatib Basri, menambahkan, porsi elpiji 12 kg yang hanya 17 persen dari kebutuhan nasional, tidak akan berpengaruh besar, kalaupun terjadi migrasi ke tabung 3 kg. “Jadi, kalau elpiji 12 kg tidak dipakai lagi, dan pindah ke 3 kg, dampaknya tidak terlalu besar,” ujar Chatib kepada VIVAnews.

Chatib menambahkan, konsumen akan beralih ke elpiji 3 kg jika selisih harganya cukup besar. Restoran besar, misalnya, tidak akan pindah ke tabung 3 kg.

Dari sisi itu, dia menambahkan, semestinya subsidi sebesar Rp 40 triliun masih cukup. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, mengungkapkan, pemerintah sebelumnya mengalokasikan subsidi gas Rp 30 triliun pada 2013.

Namun, tahun ini, subsidi bakal jebol Rp 10 triliun, bila merujuk pada hasil audit realisasi anggaran oleh BPK. "Itu karena impor elpiji terdampak kurs rupiah," ungkapnya. Dia mengakui, kenaikan konsumsi elpiji juga menjadi salah satu penyebab jebolnya anggaran tersebut.

Potensi gas domestik

Melihat strategisnya gas bagi kebutuhan masyarakat, pengamat energi, Kurtubi, mengatakan, potensi gas Indonesia sangat besar. Bisa mencapai ratusan triliun kaki kubik (TCF).

"Jumlah cadangan terbukti itu ada 150 TCF dan yang belum ditemukan itu ada sekitar 350 TCF. Kemudian, ada shale gas yang potensinya sebesar 450 TCF," kata Kurtubi ketika dihubungi VIVAnews.

Dia menjelaskan, Indonesia adalah negara yang potensi gasnya besar, tapi terlihat seakan-akan kekurangan gas. Kondisi ini disebabkan oleh salahnya pengelolaan gas oleh pemerintah.

Menurut dia, penerapan UU Migas No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menghambat lifting minyak dan gas.

"Gas kita justru dijual murah ke China. Ini membuat rugi Rp 30 triliun per tahun,” tuturnya.

Kondisi ini dinilai merugikan Indonesia. Sebab, Kurtubi melihat ada beberapa sektor yang seharusnya mendapatkan pasokan gas dalam negeri. "Coba lihat ada pembangkit listrik yang kekurangan gas. Bahan bakar gas kita juga kurang," kata dia.

Selain itu, Kurtubi mengatakan, harga gas alam cair tidak ditentukan oleh harga dunia, tapi ditentukan oleh kedua perusahaan migas yang melakukan kontrak pembelian gas.

Lalu, bagaimana dengan elpiji? Dia menilai, produksi elpiji yang dihasilkan Indonesia lebih kecil dibanding kebutuhan nasional. "Kebutuhan elpiji 6 juta metrik ton per tahun, sedangkan produksinya hanya 2,5 juta metrik ton. Ini yang menyebabkan Indonesia mengimpor elpiji," kata dia.(np)

 Nyaris Mencekik Usaha Rohali  

Harga naik. Pelanggan hanya melirik lauk.

Demi mendengar pengumuman itu, Rohali terkejut alang kepalang. Hari baru 2014 itu, Ibu lulusan SMA ini mematut mata ke layar televisi. Tabung gas elpiji 12 kg dibanderol Rp 120 ribu. Astaga! Harga itu terlampau melambung di atas pendapatan usaha Wartegnya di Jakarta Pusat itu. Jika dihitung-hitung, dagangan yang sudah lama dirintis itu bisa habis nafas.

Kalkulator dagangnya langsung menyala. Harga semula sekitar Rp 80 ribu. Naik jadi Rp 120 ribu. Selisihnya Rp 60 ribu. “Ini mah bukan naik lagi tapi ganti harga. Kalau naik mah, seribu dua ribu,” keluhnya kepada VIVAnews.com.

Dicekik harga setinggi itu dia hanya bisa pasrah. Suara orang seperti Rohali memang kerap kali tenggelam dalam perkara seperti ini. Terbenam di keriuhan nyanyian para politisi yang sahut menyahut di media massa.

Dan meski ngeri dengan harga baru itu, Rohali mengaku tetap membeli tabung gas. Kalau tidak, lanjutnya, “Bagaimana kami memasak.” Tanggal 3 Januari 2014, sebelum persediaan di warung itu tandas, Rohali membeli si biru itu. Dan benar saja. Harga baru sudah berlaku.

Harga setinggi itu diputuskan Pertamina tanggal 1 Januari 2014. Alasannya, dengan harga yang lama perusahaan negara itu rugi triliunan. Jumlah kerugian super raksasa itu ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan itu lalu menyarankan harga harus dikerek. Diprotes keras sejumlah kalangan, termasuk si Rohali tadi itu. “ Mau masak pakai apa? Pakai kayu? Saya ngak punya pohon,” protesnya sembari tertawa getir.

Banderol harga baru itu memang bisa membuat Wartegnya bernafas “Senin Kemis”. Mari melihat hitung-hitungan keuangan versi Rohali ini. Di Warung itu, dia menyalakan empat tabung. Semuanya 12 kg. Akan habis dalam tiga empat hari. Dengan harga baru itu, warung itu akan ketimpuk pengeluaran baru 60x4=Rp 240 ribu selama empat hari. Hitung saja berapa tambahan pengeluaran sebulan.

Dengan tambahan pos pengeluaran sebesar itu, katanya, keuntungan yang mestinya bisa ditabung, malah habis-habisan untuk membeli gas. Lalu apa gunanya berjualan. Repot memang.

Kian repotlah Rohali sebab gara-gara kenaikan elpiji itu harga belanjaan di pasar juga melonjak. Padahal Rohali harus saban hari ke pasar. Membeli beras, lauk pauk, sayur dan buah pisang. Dipukul dari dua arah seperti itu, mau tak mau dia mendongkrak harga makanan. Bagi beban dengan pelanggan.

Celakanya para pelanggan itu bukan kelas atas. Kantong mereka pas-pasan. Lantaran harga naik, banyak yang justru menekan selera. “Yang biasanya beli nasi pakai ayam, ganti jadi pakai telur. Ada yang beli nasi pakai ikan, ganti jadi pakai tempe,” kisah Rohali. Jadilah banyak lauk cuma dilirik.

Untung saja harga yang mencekik itu diturunkan. Pada Senin, 6 Januari 2014, Pertamina mengumumkan harga turun menjadi Rp 89 ribu. Berlaku 7 Januari pukul 00.00. Banyak orang setuju dengan harga baru itu. Juga Rohali. Hitung-hitungan keuangannya masih masuk akal.

Rohali sempat berencana berpindah ke elpiji melon 3 kg. Tapi niat itu diurungkan lantaran faktor keselamatan. “Takut lihat berita di televisi, tabungnya meledak. Pokoknya elpiji 12 kg tetap aman buat pedagang,"katanya.

Rohali berharap agar pemerintah peka dengan nasib usaha kecil seperti miliknya itu. Dia berharap agar disesuaikan untuk pedagang seperti dia. Dia mengaku punya enam karyawan. Sewa tempat mahal. “Biaya keamanan Rp 610.000 per bulan. Biaya listrik Rp 800.000 per bulan," katanya.

Harga yang sempat melonjak itu memang mengejutkan banyak orang. Bukan hanya pedagang seperti Rohali, tapi pengusaha seperti Ning Sudjito. Presiden Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia itu mengaku kaget dengan kenaikan elpiji 12 kg itu. Apalagi berlaku mendadak. Sonder sosialisasi kepada masyarakat.

Padahal, katanya, sebagai pengusaha catering sudah menerima banyak sekali pukulan. Dipukul harga cabai yang naik. Harga daging. Tahu dan tempe. “Yang paling parah adalah kenaikan harga cabai yang sudah hampir seperti harga emas," keluhnya.

Padahal, kata Sudjito, 95 persen anggota Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Para pedagang itu, lanjutnya, mengaku kian keteteran jika harga elpiji naik menjadi Rp 120 ribu. “Mereka yang punya rekanan dari kantor pemerintah, banyak yang sudah mematok harga dengan gas harga normal untuk kontrak-kontrak selama 2014. Kontrak dibuat tahun 2013," ujarnya.

Sudah begitu, susah pula pindah ke gas 3 kg. Sebab instalasi yang terpasang memang dipersiapkan untuk elpiji 12 kg. "Lagipula, jika berubah ke gas 3 kg, tidak akan membuat pekerjaan menjadi lebih efektif karena sedikit-sedikit kehabisan gas," tuturnya.

Meskipun harga elpiji 12 kg sudah direvisi oleh pemerintah, Sudjito menegaskan bahwa mereka tetap menaikkan harga makanan rata-rata 15 persen hingga 25 persen.


Ekonomi Indonesia Kini Dipandang Sebagai "Gula-gula" Dunia

 Tergolong 4 negara berpotensi besar dalam ekonomi global pada 2050  

Jakarta Indonesia dalam lima tahun terakhir menjadi sorotan dunia karena pertumbuhan ekonominya relatif stabil saat banyak negara - terutama di Eropa dan Amerika - masih berjuang keluar dari resesi global 2007-2008. Periode itulah yang seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru.

Stabilnya ekonomi negeri ini dalam setengah dekade terakhir - merujuk pada pertumbuhan yang selalu di kisaran 5-6% per tahun - rupanya sudah mulai diulas media-media massa mancanegara. Stasiun berita BBC dan majalah Forbes, misalnya, mengulas bagaimana Indonesia bisa masuk dalam gelombang baru ekonomi yang tengah bangkit, yang disebut sebagai "MINT."

Bila diterjemahkan secara harafiah dalam bahasa Inggris, MINT berarti "permen" atau "gula-gula." Namun itu adalah gabungan singkatan empat negara yang kini dipandang berpotensi sebagai kekuatan ekonomi baru. Mereka adalah Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki, MINT.

Pencetus istilah ini adalah ekonom Inggris Jim O'Neill. Mantan eksekutif Goldman Sachs itu pada 2001 memperkenalkan istilah "BRIC," yaitu gabungan dari Brazil, Rusia, India, dan China.

Empat negara BRIC, menurut O'Neill pada saat itu, diyakini berpotensi menjadi kekuatan ekonomi baru sekaligus memberi pengaruh bagi perekonomian dunia. Banyak ekonom dan pejabat setuju dengan O''Neill karena BRIC kini menjadi kekuatan lobi berpengaruh dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan China telah menjelma jadi raksasa ekonomi terbesar kedua yang juga diprediksi mampu melampaui AS dalam beberapa tahun ke depan.

Kini, O'Neill menyaksikan empat negara berkembang dari gelombang baru yang mulai mengikuti jejak-jejak BRIC. Itulah yang dia sebut sebagai MINT. Seperti BRIC, empat negara MINT ini tidak membentuk suatu aliansi khusus, namun bila terus mempertahankan atau meningkatkan performa ekonomi masing-masing hingga 2050, mereka bisa masuk sebagai kelompok negara maju.

Dalam ulasannya di BBC, O'Neill memaparkan mengapa empat negara dari kelompok MINT bisa menjadi raksasa baru ekonomi dunia dalam 30-40 tahun depan. Ada empat faktor mendasar yang menjadi senjata andalan MINT, yaitu punya populasi muda yang banyak untuk menjadi angkatan kerja yang produktif, posisi negara masing-masing yang sangat strategis, dan (kecuali Turki) punya sumber daya alam yang melimpah dan belum diolah secara optimal.

Bagi O'Neill, elemen-elemen demografi dan geostrategi itulah yang membuat iri banyak pihak, terutama negara-negara maju. Mereka kini menghadapi makin banyak warga yang memasuki usia pensiun, yang tidak sebanding dengan proporsi jumlah angkatan muda, dan kian sulit mengamankan pasokan sumber daya alam di masa depan karena di negeri mereka tidak punya barang mentah yang bisa diproduksi alami.

"Jadi bila Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki bersama-sama tampil dengan baik, beberapa dari mereka bisa menyamai pertumbuhan ekonomi dua digit, seperti yang dinikmati China selama 2003-2008," kaya O'Neill.

Menteri Luar Negeri Meksiko, Jose Antonio Meade Kuribrena, menunjukkan bahwa negaranya beserta tiga ekonomi punya keuntungan geografis dalam peta perdagangan dunia. Meksiko tidak saja bertetangga dekat dengan AS, yang merupakan raksasa ekonomi nomor satu saat ini, namun juga penghubung bagi Amerika Latin.

Indonesia terletak di jantung Asia Tenggara selain menjadi titik temu bagi dua samudera dan dua benua. Selain itu, Indonesia kian erat menjalin hubungan dengan China, calon kekuatan nomor satu dunia.

Turki merupakan tempat pertemuan strategis bagi dunia Barat dan Timur. Di Afrika, Nigeria menjadi gerbang strategis di kawasan barat benua itu, namun posisinya baru bisa optimal bila para tetangganya berhenti berperang dan mulai saling berdagang.

Bagi O'Neill, keuntungan-keuntungan itu bisa menjadi basis bagi MINT untuk mengembangkan suatu persekutuan ekonomi-politik sendiri demi memperluas profil serta pengaruh mereka di panggung global. Ini sudah ditunjukkan para pemimpin BRIC, yang menggelar pertemuan tahunan sejak 2009.

Kontributor majalah Forbes, Chris Wright, sepakat atas analisis O'Neill mengenai kebangkitan negara-negara berkembang, baik yang disebut sebagai BRIC maupun MINT. Menurut dia terminologi unik dari O'Neill itu mencerahkan dan penting.

"O'Neill, tentu saja membuat suatu gambaran ekonomi yang akan terwujud dalam beberapa dekade dan generasi mendatang. Pengamatannya harus dipandang dalam jangka yang amat panjang," tulis Wright.

Mengenai Indonesia, O'Neill memaparkan mengapa negara ini pantas masuk dalam kelompok MINT. Bermodalkan keuntungan demografi dan geografi, Indonesia berpotensi menikmati pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang signifikan.

Mengutip statistik dari Bank Dunia dan Goldman Sachs, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2012 sebesar US$0,88 triliun dan berada di peringkat 16. Namun, pada 2050 diyakini bisa melejit ke peringkat sembilan ekonomi dunia dengan PDB US$6,04 triliun - melampaui sejumlah negara maju Eropa saat ini, seperti, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia.

Pendapatan per kapita Indonesia pun terus naik dalam satu dasawarsa terakhir. Menurut data IMF dan Goldman Sachs, pada 2000 pendapatan per kapita negeri ini hanya US$800, namun pada 2012 naik signifikan hingga sebesar US$3.600. Pada 2050, nilainya diprediksi menjadi US$21.000.

Tantangan Besar

Namun, seperti yang diingatkan Wright, prediksi itu bersifat jangka panjang. Empat puluh tahun merupakan waktu yang sangat lama dan prediksi sangat mungkin berubah 180 derajat bila tidak ada upaya perbaikan untuk menuju ke angka yang diperkirakan.

Sebagai pencetus MINT, O'Neill sendiri memaparkan masih banyak tantangan atau kekurangan yang harus diperbaiki Indonesia bila ingin menjadi raksasa ekonomi baru. Bahkan, dibanding Meksiko dan Nigeria, dia melihat Indonesia saat ini kurang meyakinkan untuk tampil konsisten.

"Tantangan-tantangan yang dihadapi negara itu sebesar yang sudah saya perkirakan dan saya tidak mendengar banyak hal yang membuat saya sampai berseru 'Wow' [terkesan luar biasa] dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut," kata O'Neill.

Beberapa tantangan yang harus ditanggulangi Indonesia adalah bagaimana menciptakan daya tarik komersil yang lebih dari sekadar komoditas dan bagaimana memperbaiki infrastruktur. Kesenjangan tampak masih terlihat jelas, bahkan di Ibu Kota Jakarta.

"Di salah satu wilayah kumuh Jakarta, Pluit, permukaannya turun 20 cm per tahun karena pengambilan air tanah yang berlebihan. Namun, di tempat-tempat lain di kota itu, harga properti melambung tinggi," tulis O'Neill. Korupsi pun menjadi tantangan besar yang harus segera dienyahkan Indonesia, dan ini juga masalah bagi tiga negara MINT lainnya.

Selain itu, Indonesia dalam beberapa bulan terakhir tengah bermasalah dalam menata ekonomi domestik. "Kondisi fiskalnya telah bermasalah oleh defisit ganda, mata uangnya tengah jatuh, bertambahnya kekhawatiran keluarnya arus modal asing ke luar negeri, harga komoditas tengah turun, dan tahun 2014 akan berlangsung Pemilu di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat lagi memerintah, dan muncul kekecewaan akan lambannya pembangunan infrastruktur," kata Wright.

Maka, untuk mewujudkan prediksi jangka panjang itu, tantangan-tantangan yang mendesak untuk segera dibenahi Indonesia. Apalagi belum lama ini Bank Dunia memperingatkan bahwa pertumbuhan PDB Indonesia bisa turun dari level 5,6 persen di 2013 menjadi 5,3 persen di 2014.

Salah satu penyebab adalah turunnya investasi - yang hanya tumbuh 4,5 persen di kuartal ketiga – terutama untuk alat berat dan industri mesin. Proyeksi Bank Dunia masih diwarnai sejumlah risiko tinggi, dan tertuju pada pertumbuhan yang lebih lemah.

Rencana penghapusan stimulus bank sentral Amerika Serikat (US Federal Reserve) diperkirakan akan membuat kondisi pasar modal dunia terus bergejolak dan menghambat akses Indonesia terhadap dana eksternal. Pertumbuhan konsumsi domestik – yang selama ini cukup tangguh – juga diperkirakan akan melemah. Proyeksi keuangan juga terlihat rentan akibat belanja subsidi BBM.

Defisit neraca akun berjalan diperkirakan akan menyusut dari $31 milyar (3,5 persen PDB) di 2013 menjadi $23 milyar di 2014 (2,6 persen PDB), akibat lemahnya pertumbuhan impor dan permintaan ekspor yang meningkat secara moderat.

Dalam rangka menyikapi defisit neraca akun berjalan, yang perlu dilakukan bukanlah menekan tingkat impor, tetapi dengan menaikkan ekspor dan mengamankan ketersediaan dana eksternal, terutama investasi asing langsung (FDI).

“Langkah-langkah perbaikan terhadap iklim usaha sangat penting untuk menarik investasi. Membuat peraturan perdagangan dan logistik lebih sederhana juga dapat membantu mendongkrak ekspor,” kata Ndiame Diop, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, dalam pernyataan tertulisnya ke VIVAnews.

Tanggapan Indonesia

Sementara itu, kalangan pejabat Indonesia menyambut baik kajian O'Neill soal MINT. Diakui bahwa infrastruktur masih menjadi kelemahan bagi Indonesia dalam mewujudkan potensi menjadi kekuatan ekonomi baru.

Menteri Keuangan Chatib Basri mengaku belum lama diwawancara O'Neill soal ini. "Dia mengakui Indonesia tengah dalam kondisi yang bagus. Berarti MINT itu kan bisa menjadi sangat potensial. Dia bahkan tidak khawatir dengan dampak tappering off [penarikan stimulus Bank Sentral AS], dia bilang ini jangka pendek," kata Chatib hari ini.

Wakil Menteri Keuangan RI, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa Indonesia masih butuh kerja keras untuk bangkit menjadi negara maju. "Infrastruktur kita masih ketinggalan, kualitas sumber daya manusia masih diperbaiki, anggaran harus dirapihkan dan perlu transformasi struktural," kata Bambang.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa menilai bahwa tantangan yang harus dilewati Indonesia saat ini adalah bagaimana tidak masuk dalam "perangkap negara berpenghasilan menengah," yang sulit bergerak ke atas menjadi negara maju. Dia melihat ada tiga faktor yang bisa membuat Indonesia bisa terjerembab ke middle income trap.

Pertama, gagal membangun infrastruktur. Kedua, tidak bisa mewujudkan kemandirian pangan dan energi. "Ketiga adalah masalah perlindungan sosial. Masih banyak masyarakat yang tertinggal sehingga disparitas itu harus dikurangi," kata Hatta.(sj)


  Vuvanews  

Indonesia masuk dalam kelompok MINT

Indonesia masuk dalam kelompok negara perekonomian baru bersama Meksiko, Nigeria dan Turki, yang disebut oleh ahli ekonomi Jim O'Neill sebagai MINT. 

Pembangunan di JakartaAdalah Jim O'Neill yang pada 2001 menemukan isitilah BRIC yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan Cina untuk negara-negara yang saat itu diperkirakan kelak menjadi kekuatan ekonomi masa depan.

Tapi apa yang membuat keempatnya masuk dalam kelompok negara yang secara khusus dipertimbangkan akan akan menjadi perekonomian besar.

Salah satunya, menurut O'Neill, adalah negara-negara tersebut memiliki demografi yang 'baik' dengan peningkatan jumlah penduduk usia produktif yang lebih tinggi dari penduduk yang tidak bekerja.

Jadi secara teori, jika Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki bisa bekerja sama, beberapa akan mampu menikmati pertumbuhan dua angka seperti Cina pada masa 2003-2008.

Selain itu posisi geografis keempatnya juga menguntungkan.

Meksiko, misalnya, merupakan negara tetangga Amerika Serikat namun berada di Amerika Latin. Begitu juga dengan Indonesia yang terletak di jantung Asia Tenggara dan memiliki hubungan erat dengan Cina.

Sedangkan Turki berada di dua semenanjung, Barat dan Timur.

Prakiraan pertumbuhan pendapatan (ribu US$)

                   2000        2012      Prakiraan 2050
Meksiko      7,0          10,6               48,0
Indonesia    0,8            3,6                21,0
Nigeria        0,2            1,4                12,6
Turki            4,1            10,6              48,5

O'Neill berpendapat Nigeria agak berbeda karena berada di kawasan Afrika yang masih kurang pembangunannya namun di masa depan bisa jadi berkembang jika negara-negara di kawasan itu berhenti berperang dan melakukan perdagangan satu sama lain.

Tantangan di Indonesia

Dari segi kekayaan, Meksiko dan Turki berada dalam satu tingkat dengan penghasilan rata-rata per orang per tahun sekitar US$10.000.

Penghasilan rata-rata di Indonesia US$2.100 dan Nigeria sebesar US$1.500 atau setara dengan India yang sudah lebih dulu masuk dalam BRIC.

Menurut O'Neill, dalam waktu 30 tahun mendatang ada peluang MINT bisa bergabung dengan 10 negara perekonomian terbesar dunia.

Namun dengan beberapa catatan, dan untuk Indonesia tantangan utamanya -tambah O'Neill, adalah kepemimpinan dan prasarana.

Dia juga menambahkan bahwa tantangan dan kesempatan sebenarnya saling berdampingan di Indonesia.

Salah satu contoh yang disebutnya adalah dari kunjungan ke kawasan Pluit, Jakarta, yang permukaan tanahnya diperkirakan turun 20cm per tahun namun harga properti di kawasan lain Jakarta meroket.


  BBC  

Harga Elpiji Indonesia Terendah di Asia?

 Belum seminggu naik nyaris Rp4.000/kg, Pertamina menurunkan harga lagi  

Rapat umum pemegang saham PT Pertamina, Senin 6 Januari 2014, akhirnya memutuskan merevisi kenaikan harga elpiji 12 kilogram, dari Rp3.959 per kg menjadi Rp1.000 per kg.

Kenaikan harga hampir Rp4.000 per kg yang berlaku 1 Januari 2014 itu sempat memicu reaksi keras masyarakat dan pelaku usaha. Di antara pelaku usaha kecil yang paling terdampak, bahkan terancam gulung tikar.

Dalam rapat kabinet terbatas Minggu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, langsung meminta Pertamina meninjau ulang kebijakan korporasi itu. Kenaikan harga elpiji 12 kg itu pun direvisi dan berlaku efektif mulai Selasa, 7 Januari 2014, pukul 00.00 WIB.

Harga gas elpiji nonsubsidi 12 kg yang sebelumnya naik Rp117.700 per tabung, diturunkan lagi menjadi Rp82.200 per tabung.

Di tingkat agen, harga itu akan berkisar Rp89.000 hingga Rp120.100 per tabung. Selanjutnya, besaran kenaikan di tingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point).

Namun, Pertamina mengklaim, harga yang berlaku saat ini masih lebih rendah dibanding negara-negara lain. "Harga elpiji nonsubsidi yang dijual di Indonesia paling rendah di kawasan Asia, bahkan dunia," kata Wakil Presiden Komunikasi Korporat Pertamina, Ali Mundakir, ketika dihubungi VIVAnews.

Sebelum kenaikan harga elpiji 12 kg, harga jual elpiji biru ini Rp5.850 per kg. Pada 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga jual menjadi Rp9.809 per kg. Namun, setelah direvisi, harga jual elpiji menjadi sekitar Rp6.850 per kg.

Dengan harga jual itu, berdasarkan data yang diperoleh VIVAnews dari Pertamina, harga elpiji nonsubsidi rumah tangga di Indonesia masih cukup murah. Di India, harga jual elpiji dipatok Rp12.600 per kg.

Negara tetangga Indonesia, seperti Filipina, bahkan menjualnya di atas Rp20.000 per kg, yaitu mencapai Rp24.000 per kg. China, Korea Selatan, dan Jepang juga menjual elpiji di atas harga jual India, tapi masih di bawah Filipina.

China menjual elpiji nonsubsidi sebesar Rp17.000-21.000 per kg, Korea Selatan Rp17.000 per kg, dan Jepang hingga Rp20.000 per kg. "Data-data itu berlaku hingga saat ini," imbuhnya.

Menurut data itu, terdapat negara-negara yang memasarkan elpiji bersubsidi dengan harga lebih rendah. Malaysia menjual elpiji dengan harga Rp6.938 per kg, India sebesar Rp5.500 per kg, dan Thailand Rp7.000 per kg.

Apabila dibandingkan dengan harga elpiji bersubsidi di Indonesia sebesar Rp4.250 per kg, tetap saja harga jual di dalam negeri termasuk paling rendah. "Harga elpiji bersubsidi kita juga paling rendah, kok," kata Ali.

 Kerugian bisnis elpiji 12 kg 

Mengacu harga jual elpiji yang termasuk paling rendah di Asia itu, Pertamina mengklaim rugi puluhan triliun rupiah dari bisnis elpiji 12 kg. Kerugian itu dihitung dari 2008 hingga 2013.

Faktor harga gas dan pelemahan kurs rupiah, menjadi pemicu utama kerugian itu. "Sejak 2008, total kerugian elpiji 12 kg diperkirakan Rp22 triliun dan ini menunjukkan tren meningkat," tulis data Pertamina yang diterima VIVAnews.

Bisnis elpiji 12 kg selama ini selalu merugi, karena Pertamina harus menjual di bawah harga produksi. Harga jual rata-rata Rp4.944 per kg, sedangkan biaya produksi Rp10.785 per kg, sehingga terjadi selisih Rp5.841 per kg, yang dicatat sebagai kerugian.

Pada 2008, total kerugian Pertamina di bisnis elpiji itu mencapai Rp4,7 triliun, sebelum turun menjadi Rp1,1 triliun pada 2009. Kemudian, kerugian kembali meningkat menjadi Rp2,2 triliun pada 2010, dan terus melonjak hingga Rp3,4 triliun pada 2011.

Pada 2012, kerugian Pertamina dari elpiji biru Rp4,7 triliun dan selanjutnya Rp5,7 triliun pada 2013.

Pertamina mencatat bahwa harga elpiji 12 kg tidak pernah dinaikkan sejak Oktober 2009. Pada bulan itu, Pertamina menaikkan harga jual elpiji Rp5.850 per kg dari sebelumnya Rp5.750 per kg pada Agustus 2008. Saat itu, biaya produksi Rp7.174 per kg.

Kenaikan harga belum dilakukan sampai akhir 2013, meski biaya produksi meningkat menjadi Rp10.165 per kg. "Sejak 2009, harga CP (contract price) Aramco telah meningkat Rp3.790 per kg, sedangkan harga jual elpiji 12 kg tidak meningkat," kata manajemen perusahaan pelat merah itu.

Pada Oktober 2009, harga Aramco sebesar US$513 per metric ton. Pada 2013, harganya meningkat menjadi US$873 per metric ton.

Sekadar informasi, konsumsi elpiji 12 kg mencapai 977.000 ton pada 2013. Faktor rupiah juga menjadi penyebab perusahaan pelat merah ini tekor.

"Karena faktor ini, perusahaan pelat merah ini merugi Rp5,7 triliun," tulis data Pertamina itu.

Namun, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, mengungkapkan bahwa Pertamina, secara keseluruhan mendapat untung dalam berbisnis.

Karena, Hadi mengingatkan, Pertamina tidak hanya berbisnis gas. "Pertamina kan banyak unit usahanya, salah satu unit usahanya adalah gas," kata Hadi.

Kendati demikian, dalam unit usaha gas, Pertamina memang mengalami kerugian. Hal itu tampak dalam audit BPK pada 2011-2012.

Gas tersebut ada yang dijual di bawah harga pokok, sehingga ada potensi kerugian. Hanya, secara keseluruhan Pertamina tetap untung.

Pertamina menargetkan laba bersih US$3,44 miliar pada 2014. Dalam Pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), Pertamina menargetkan pertumbuhan aset konsolidasian menjadi US$52,6 miliar, atau naik sekitar 13 persen dibanding 2013.

Untuk target pendapatan senilai US$79 miliar atau setara Rp830 triliun dengan asumsi kurs rupiah terhadap dolar Rp10.500 per dolar AS. Angka pendapatan itu lebih tinggi sekitar 6 persen dibandingkan prognosa pendapatan 2013.

 LNG lebih murah 

Menyikapi potensi kerugian yang masih membayangi Pertamina, pengamat BUMN, Said Didu, memberi wacana penggunaan jaringan gas kota. Harga gas yang menggunakan jaringan gas kota diklaim lebih murah dibandingkan yang dikemas dalam tabung.

Kondisi ini disebabkan gas tersebut tidak memerlukan proses pengolahan tambahan. "Bedakan antara LNG (liquid natural gas) dan LPG (liquid petroleum gas). LNG itu dari gas alam cair, sedangkan LPG itu gas dari pengilangan minyak. LNG itu yang disalurkan lewat pipa gas ke rumah-rumah. Itu lebih murah," kata Said Didu, ketika dihubungi VIVAnews, Selasa, 7 Januari 2014.

Said menuturkan, konsep penyaluran gas ke konsumen rumah tangga lewat pipa gas, sudah diberlakukan di luar negeri. Biayanya diklaim lebih murah ketimbang LPG, karena tidak memerlukan biaya tambahan produksi.

"Tidak perlu lagi tabung. Kalau LPG, kan setelah gasnya diambil, dicairkan, dimasukkan ke dalam tabung, lalu didinginkan kembali. Butuh proses dan biayanya jadi mahal," ujarnya.

Namun, Said tidak menyebutkan perbandingan kedua harga jenis gas ini. "Saya kurang tahu harganya," ujarnya.

Meskipun harga LNG lebih murah, biaya pembangunan infrastrukturnya lebih mahal, karena harus dibangun pipa-pipa terlebih dahulu sebelum bisa menyalurkan gas kepada konsumen. "Itu infrastrukturnya susah. Makanya di sini pakai LPG," kata dia. (umi)


  Vibanews  

Pemerintah Diminta Tak Istimewakan Freeport dan Newmont

Tambang PT Newmont Nusa Tenggara di Batu Hijau , Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat
Tambang PT Newmont Nusa Tenggara di Batu Hijau , Sumbawa Barat, NTB

Jakarta Penerapan aturan hilirisasi minerba diminta tidak mengistimewakan Freeport dan Newmont. Artinya, tidak ada kelonggaran ekspor mineral mentah terhadap seluruh perusahaan tambang.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress), Marwan Batubara, berpendapat pemerintah harus konsisten dengan undang-undang (UU) Minerba no 4 Tahun 2009. ''Tidak ada relaksasi dan jangan ada pengecualian terutama untuk Freeport dan Newmont,'' katanya, Jakarta, Selasa (7/1).

Menurut Marwan, Freeport dan Newmont tidak mempunyai niat baik untuk mematuhi UU tersebut. Walaupun, kedua perusahaan tambang itu menonjolkan sudah melakukan pengolahan dan pemurnian mineral mentah di Gresik. Dia menerangkan, pengondisian untuk pengolahan dan pemurnian mineral mentah sudah ada sebelum aturan itu diundangkan.

UU tersebut, kata Marwan, secara jelas mengatur bahwa harus diolah dan dimurnikan 100 persen. Jadi, walaupun sudah ada smelter di Gresik tidak bisa disimpulkan mereka sudah melakukan pemurnian dan pengolahan mineral mentah. Marwan menilai, hal itu berbeda dari yang diamanatkan di pasal 170.

Pasal 103 ayat 1 jo Pasal 170 UU No 4 Tahun 2009 mewajibkan pemegang kontrak karya (KK) yang sudah berproduksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangannya di dalam negeri, dalam jangka waktu paling lambat lima tahun sejak diundangkan, yakni pada 12 Januari 2014.

Marwan berpandangan, aturan hilirisasi minerba itu logis dan realistis. Pasalnya, tujuan dari UU tersebut untuk meningkatkan nilai tambah mineral mentah.

Ketika ditanya mengapa meminta pemerintah tidak mengistimewakan Freeport dan Newmont, Marwan beralasan, pajak negara terbesar dari sektor mineral mayoritas dari kedua perusahaan itu. Dia berharap dengan adanya nilai tambah mineral naik menjulang dengan adanya pelaksanaan aturan tersebut.

Marwan menilai, Freeport dan Newmont menjadi biang kerok pelanggar aturan hilirisasi mineral. ''Justru mereka berdua yang jadi biang dan tidak ada niat baik jadi tersendat-sendat,'' tegasnya.

Indikasinya, kata dia, kedua perusahaan tambang itu dilibatkan pada pembahasan empat tahun sebelum 12 Januari 2014. Kedua, mereka juga mengetahui bukan cuma sampai tembaga yang harus diolah dalam negeri. Hal itu sudah dibahas sebelum 2009, jadi apabila hingga kini tidak ada studi kelayakan (FS) artinya, mereka tidak memiliki itikad baik.


  Republika  

Facebook Dituding "Sadap" Pesan Pribadi Demi Laba

Facebook.Amerika Serikat Dua orang pengguna Facebook asal Amerika Serikat mengajukan tuntutan kepada raksasa media sosial tersebut karena diduga telah "menyadap" pesan pribadi para pengguna Facebook.

Pelapor mengatakan bahwa Facebook secara sistematis mencegat pesan pribadi pengguna Facebook demi kepentingan komersil.

Ketika pengguna Facebook menulis pesan kepada pengguna lainnya, dan menyertakan tautan di dalam pesan tersebut, maka Facebook akan mengikuti tautan tersebut dan menggunakan informasi tersebut untuk membuat profil si pengguna Facebook. Profil ini yang kemudian dijual kepada pengiklan.

Menurut pelapor, Facebook telah melanggar UU Privasi dan Komunikasi Elektronik.

"Facebook memindai data pengguna secara tidak sah demi meningkatkan algoritma pemasaran mereka dan meraup laba," ujar Michael Sobol, pengacara para pelapor.

Pelapor mengajukan tuntutan class action dan menuntut Facebook mengganti kerugian US$10.000 untuk masing-masing orang yang pesan pribadinya "disadap".

Facebook mengatakan bahwa tuduhan ini tidak berdasar.