Harga Elpiji Indonesia Terendah di Asia?
Belum seminggu naik nyaris Rp4.000/kg, Pertamina menurunkan harga lagi
Rapat umum pemegang saham PT Pertamina, Senin 6 Januari 2014, akhirnya memutuskan merevisi kenaikan harga elpiji 12 kilogram, dari Rp3.959 per kg menjadi Rp1.000 per kg.
Kenaikan harga hampir Rp4.000 per kg yang berlaku 1 Januari 2014 itu sempat memicu reaksi keras masyarakat dan pelaku usaha. Di antara pelaku usaha kecil yang paling terdampak, bahkan terancam gulung tikar.
Dalam rapat kabinet terbatas Minggu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, langsung meminta Pertamina meninjau ulang kebijakan korporasi itu. Kenaikan harga elpiji 12 kg itu pun direvisi dan berlaku efektif mulai Selasa, 7 Januari 2014, pukul 00.00 WIB.
Harga gas elpiji nonsubsidi 12 kg yang sebelumnya naik Rp117.700 per tabung, diturunkan lagi menjadi Rp82.200 per tabung.
Di tingkat agen, harga itu akan berkisar Rp89.000 hingga Rp120.100 per tabung. Selanjutnya, besaran kenaikan di tingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point).
Namun, Pertamina mengklaim, harga yang berlaku saat ini masih lebih rendah dibanding negara-negara lain. "Harga elpiji nonsubsidi yang dijual di Indonesia paling rendah di kawasan Asia, bahkan dunia," kata Wakil Presiden Komunikasi Korporat Pertamina, Ali Mundakir, ketika dihubungi VIVAnews.
Sebelum kenaikan harga elpiji 12 kg, harga jual elpiji biru ini Rp5.850 per kg. Pada 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga jual menjadi Rp9.809 per kg. Namun, setelah direvisi, harga jual elpiji menjadi sekitar Rp6.850 per kg.
Dengan harga jual itu, berdasarkan data yang diperoleh VIVAnews dari Pertamina, harga elpiji nonsubsidi rumah tangga di Indonesia masih cukup murah. Di India, harga jual elpiji dipatok Rp12.600 per kg.
Negara tetangga Indonesia, seperti Filipina, bahkan menjualnya di atas Rp20.000 per kg, yaitu mencapai Rp24.000 per kg. China, Korea Selatan, dan Jepang juga menjual elpiji di atas harga jual India, tapi masih di bawah Filipina.
China menjual elpiji nonsubsidi sebesar Rp17.000-21.000 per kg, Korea Selatan Rp17.000 per kg, dan Jepang hingga Rp20.000 per kg. "Data-data itu berlaku hingga saat ini," imbuhnya.
Menurut data itu, terdapat negara-negara yang memasarkan elpiji bersubsidi dengan harga lebih rendah. Malaysia menjual elpiji dengan harga Rp6.938 per kg, India sebesar Rp5.500 per kg, dan Thailand Rp7.000 per kg.
Apabila dibandingkan dengan harga elpiji bersubsidi di Indonesia sebesar Rp4.250 per kg, tetap saja harga jual di dalam negeri termasuk paling rendah. "Harga elpiji bersubsidi kita juga paling rendah, kok," kata Ali.
Kerugian bisnis elpiji 12 kg
Mengacu harga jual elpiji yang termasuk paling rendah di Asia itu, Pertamina mengklaim rugi puluhan triliun rupiah dari bisnis elpiji 12 kg. Kerugian itu dihitung dari 2008 hingga 2013.
Faktor harga gas dan pelemahan kurs rupiah, menjadi pemicu utama kerugian itu. "Sejak 2008, total kerugian elpiji 12 kg diperkirakan Rp22 triliun dan ini menunjukkan tren meningkat," tulis data Pertamina yang diterima VIVAnews.
Bisnis elpiji 12 kg selama ini selalu merugi, karena Pertamina harus menjual di bawah harga produksi. Harga jual rata-rata Rp4.944 per kg, sedangkan biaya produksi Rp10.785 per kg, sehingga terjadi selisih Rp5.841 per kg, yang dicatat sebagai kerugian.
Pada 2008, total kerugian Pertamina di bisnis elpiji itu mencapai Rp4,7 triliun, sebelum turun menjadi Rp1,1 triliun pada 2009. Kemudian, kerugian kembali meningkat menjadi Rp2,2 triliun pada 2010, dan terus melonjak hingga Rp3,4 triliun pada 2011.
Pada 2012, kerugian Pertamina dari elpiji biru Rp4,7 triliun dan selanjutnya Rp5,7 triliun pada 2013.
Pertamina mencatat bahwa harga elpiji 12 kg tidak pernah dinaikkan sejak Oktober 2009. Pada bulan itu, Pertamina menaikkan harga jual elpiji Rp5.850 per kg dari sebelumnya Rp5.750 per kg pada Agustus 2008. Saat itu, biaya produksi Rp7.174 per kg.
Kenaikan harga belum dilakukan sampai akhir 2013, meski biaya produksi meningkat menjadi Rp10.165 per kg. "Sejak 2009, harga CP (contract price) Aramco telah meningkat Rp3.790 per kg, sedangkan harga jual elpiji 12 kg tidak meningkat," kata manajemen perusahaan pelat merah itu.
Pada Oktober 2009, harga Aramco sebesar US$513 per metric ton. Pada 2013, harganya meningkat menjadi US$873 per metric ton.
Sekadar informasi, konsumsi elpiji 12 kg mencapai 977.000 ton pada 2013. Faktor rupiah juga menjadi penyebab perusahaan pelat merah ini tekor.
"Karena faktor ini, perusahaan pelat merah ini merugi Rp5,7 triliun," tulis data Pertamina itu.
Namun, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, mengungkapkan bahwa Pertamina, secara keseluruhan mendapat untung dalam berbisnis.
Karena, Hadi mengingatkan, Pertamina tidak hanya berbisnis gas. "Pertamina kan banyak unit usahanya, salah satu unit usahanya adalah gas," kata Hadi.
Kendati demikian, dalam unit usaha gas, Pertamina memang mengalami kerugian. Hal itu tampak dalam audit BPK pada 2011-2012.
Gas tersebut ada yang dijual di bawah harga pokok, sehingga ada potensi kerugian. Hanya, secara keseluruhan Pertamina tetap untung.
Pertamina menargetkan laba bersih US$3,44 miliar pada 2014. Dalam Pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), Pertamina menargetkan pertumbuhan aset konsolidasian menjadi US$52,6 miliar, atau naik sekitar 13 persen dibanding 2013.
Untuk target pendapatan senilai US$79 miliar atau setara Rp830 triliun dengan asumsi kurs rupiah terhadap dolar Rp10.500 per dolar AS. Angka pendapatan itu lebih tinggi sekitar 6 persen dibandingkan prognosa pendapatan 2013.
LNG lebih murah
Menyikapi potensi kerugian yang masih membayangi Pertamina, pengamat BUMN, Said Didu, memberi wacana penggunaan jaringan gas kota. Harga gas yang menggunakan jaringan gas kota diklaim lebih murah dibandingkan yang dikemas dalam tabung.
Kondisi ini disebabkan gas tersebut tidak memerlukan proses pengolahan tambahan. "Bedakan antara LNG (liquid natural gas) dan LPG (liquid petroleum gas). LNG itu dari gas alam cair, sedangkan LPG itu gas dari pengilangan minyak. LNG itu yang disalurkan lewat pipa gas ke rumah-rumah. Itu lebih murah," kata Said Didu, ketika dihubungi VIVAnews, Selasa, 7 Januari 2014.
Said menuturkan, konsep penyaluran gas ke konsumen rumah tangga lewat pipa gas, sudah diberlakukan di luar negeri. Biayanya diklaim lebih murah ketimbang LPG, karena tidak memerlukan biaya tambahan produksi.
"Tidak perlu lagi tabung. Kalau LPG, kan setelah gasnya diambil, dicairkan, dimasukkan ke dalam tabung, lalu didinginkan kembali. Butuh proses dan biayanya jadi mahal," ujarnya.
Namun, Said tidak menyebutkan perbandingan kedua harga jenis gas ini. "Saya kurang tahu harganya," ujarnya.
Meskipun harga LNG lebih murah, biaya pembangunan infrastrukturnya lebih mahal, karena harus dibangun pipa-pipa terlebih dahulu sebelum bisa menyalurkan gas kepada konsumen. "Itu infrastrukturnya susah. Makanya di sini pakai LPG," kata dia. (umi)
0 komentar:
Posting Komentar