Tampilkan postingan dengan label Migas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Migas. Tampilkan semua postingan

Mahalnya Elpiji di Negeri Kaya Gas

 Dijual murah ke China, Indonesia rugi Rp 30 triliun per tahun. 

Warung makan itu berukuran tiga kali empat meter. Berdinding bata. Cukup strategis. Jaraknya 30 meter dari Stasiun Gondangdia, Jakarta.

Siang itu, Jumat di awal Januari, warung tampak sepi. Lauk pauk dan sayur yang tersaji masih cukup lengkap. Pemilik warung itu, Nur Sidiq, tak tampak sibuk.

Saat itu adalah hari ketiga setelah PT Pertamina menaikkan harga elpiji ukuran 12 kilogram. Rata-rata kenaikan yang berlaku per 1 Januari 2014 itu Rp 3.959 per kilogram.

Meski sudah tahu soal adanya kenaikan harga itu, tapi Nur terkejut saat hendak membeli tabung elpiji 12 kg. Harganya kini melonjak drastis. "Tadinya harga elpiji 12 kg itu Rp 81 ribu. Tapi, waktu mau beli, kok harganya jadi Rp 133 ribu," kata dia kepada VIVAnews. Ia bicara dengan nada sedikit murka.

Elpiji 12 kg bukan barang baru bagi Nur. Tabung biru itu telah “menghidupi” keluarganya selama bertahun-tahun. Elpiji dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak di warungnya.

Namun, harga elpiji yang melonjak, bakal memangkas keuntungan usahanya. Awalnya, kenaikan harga tak tanggung-tanggung, lebih dari 60 persen. Sebelum akhirnya direvisi hanya naik Rp 1.000 per kg, atau sekitar 17,3 persen.

Keputusan kenaikan harga elpiji itu bukan tanpa dasar. Pertamina memakai patokan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas implementasi kebijakan energi nasional sektor gas.

Pemeriksaan dilakukan pada area pendistribusian elpiji pada 2011 dan 2012. Tujuan pemeriksaan adalah menilai efisiensi dan efektivitas pendistribusian elpiji dan tabung elpiji Pertamina.

Sub sasarannya di antaranya adalah menilai apakah perencanaan kegiatan pendistribusian dan penentuan harga elpiji telah dilakukan secara memadai, memiliki justifikasi, dan memenuhi kriteria penetapan perencanaan yang baik.

Hasil pemeriksaan BPK

Kesimpulan BPK menunjukkan kegiatan pendistribusian elpiji oleh Pertamina secara nasional sudah efektif. Efektivitas itu tercermin dari pasokan elpiji dari Pertamina yang telah menjangkau daerah-daerah terkonversi secara cukup. Baik dari sisi volume maupun ketepatan waktu.

Penyaluran elpiji itu dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu distribusi elpiji public service obligation (PSO) ke daerah terkonversi dan distribusi elpiji non PSO ke seluruh Indonesia.

Walaupun pendistribusian elpiji secara umum telah efektif, Pertamina menghadapi kendala besar. “Terutama terkait dengan kontinuitas pendistribusian dalam jangka panjang,” tulis laporan BPK itu.

Kendala itu terkait kerugian Pertamina dalam bisnis elpiji non PSO. Karena harga jual yang ditetapkan lebih rendah dari harga penyediaannya. Kondisi itu dapat mengganggu kontinuitas pendistribusian elpiji jangka panjang.

Menurut hasil pemeriksaan BPK itu, kemampuan finansial Pertamina dalam jangka panjang akan menurun, karena menanggung kerugian atas pendistribusian elpiji 12 kg dan 50 kg selama 2011 hingga Oktober 2012. Nilai kerugian itu sebesar Rp 7,73 triliun.

Kerugian itu berdampak pada ketidakmampuan Pertamina melakukan kegiatan perawatan atas sarana dan fasilitas pendistribusian elpijinya. Dalam jangka panjang, kondisi itu dapat membuat kualitas elpiji maupun sarana pendukungnya berpotensi tidak dapat dipertahankan.

Saat pemeriksaan dilakukan, Pertamina belum memiliki fasilitas storage yang memadai, maupun lainnya yang menunjang bongkar muat memadai. “Dengan luasan area pendistribusian yang terdiri atas daerah kepulauan, ikut menyebabkan biaya distribusi menjadi mahal,” tulis laporan itu.

Situasi itu mengakibatkan kontinuitas pendistribusian elpiji jangka panjang akan terganggu. Kemampuan finansial Pertamina dalam jangka panjang pun akan menurun.

Pemerintah pun berpotensi kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan dividen dari Pertamina yang lebih besar, akibat kerugian dari bisnis elpiji non PSO. Karena, penetapan harga jual elpiji non PSO, khususnya 12 kg, lebih rendah dari harga penyediaannya.

Pertamina sebelumnya tidak menaikkan harga jual elpiji tabung 12 kg karena masih mempertimbangkan kata “dilaporkan kepada Menteri” dalam pasal 25 Permen ESDM No. 26 Tahun 2009, sebagai sesuatu yang mengikat dan harus mendapatkan persetujuan pemerintah.

Tak hanya itu, Pertamina belum memanfaatkan secara optimal sumber dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan elpiji. Untuk pemenuhan kebutuhan elpiji dalam negeri, Pertamina memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap elpiji impor.

Data terakhir pada 2012 menunjukkan impor elpiji telah melebihi produksi dalam negeri. Padahal, Pertamina sebenarnya telah memiliki strategi pengadaan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP).

Namun, strategi itu belum diterjemahkan dalam workplan yang komprehensif untuk memenuhi kebutuhan elpiji, dengan memaksimalkan sumber dari dalam negeri.

Akibatnya, terjadi peningkatan volume elpiji impor yang berdampak pada peningkatan biaya pengadaan dan transportasi sebesar US$ 48 per metrik ton pada 2011. Sementara itu, untuk 2012 sebesar US$ 116 per metrik ton.

“Hal itu juga meningkatkan risiko jangka panjang ketersediaan elpiji dalam negeri, karena ketergantungan pasokan dari impor,” tulis laporan itu.

Dari hasil pemeriksaan tersebut, BPK di antaranya merekomendasikan Pertamina agar menaikkan harga elpiji tabung 12 kg. Kenaikan itu sesuai harga perolehan untuk mengurangi kerugian Pertamina.

Upaya itu dengan mempertimbangkan harga patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Sesuai Permen ESDM No. 26 Tahun 2009, Pertamina selanjutnya melaporkan kenaikan harga elpiji 12 kg tersebut kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Polemik kenaikan harga

Keputusan Pertamina menaikkan harga elpiji non subsidi kemasan 12 kg, sesuai rekomendasi BPK itu, ternyata tak semulus dibayangkan. Reaksi keras muncul dari konsumen rumah tangga hingga pelaku usaha.

Pertamina berdalih, dengan konsumsi elpiji non subsidi 12 kg tahun 2013 yang mencapai 977.000 ton, harga pokok perolehan elpiji rata-rata meningkat menjadi US$873 per metrik ton.

Sementara itu, nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar, memicu kerugian Pertamina sepanjang 2013 diperkirakan mencapai lebih dari Rp 5,7 triliun. Kerugian itu timbul akibat dari harga jual Elpiji non subsidi 12 kg yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan.

Harga sebelum kenaikan adalah harga yang ditetapkan pada Oktober 2009, yaitu Rp 5.850 per kg. Sementara itu, harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp 10.785 per kg.

Dengan kondisi ini, Pertamina selama ini telah "jual rugi" dan menanggung selisihnya, sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp 22 triliun dalam 6 tahun terakhir.

“Kondisi ini tentunya tidak sehat secara korporasi, karena tidak mendukung Pertamina dalam menjamin keberlangsungan pasokan elpiji kepada masyarakat," kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir.

Awalnya, mulai 1 Januari 2014 pukul 00.00 WIB, Pertamina memberlakukan harga baru elpiji non subsidi kemasan 12 kg secara serentak di seluruh Indonesia dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen Rp 3.959 per kg. Besaran kenaikan di tingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point).

Dengan kenaikan ini pun, Pertamina mengklaim masih "jual rugi" kepada konsumen elpiji non subsidi kemasan 12 kg sebesar Rp 2.100 per kg. Kenaikan harga tersebut akan berdampak pada tambahan pengeluaran hingga Rp 47.000 per bulan, atau Rp 1.566 per hari.

Klaim Pertamina bahwa kenaikan harga tidak banyak berpengaruh pada daya beli masyarakat, pun tak terbukti. Banyak pelaku usaha kecil menjerit. Di sejumlah daerah, kenaikan harga elpiji itu sempat liar.

Seolah tak ingin berlama-lama merespons lonjakan harga elpiji itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menggelar rapat kabinet terbatas Minggu, 5 Januari lalu. Presiden meminta Pertamina meninjau ulang kebijakan korporasi itu.

Rapat konsultasi pemerintah dan Badan Pemeriksa Keuangan pun digelar keesokan harinya. Selanjutnya, setelah menggelar rapat umum pemegang saham, Pertamina akhirnya merevisi kenaikan harga elpiji 12 kg menjadi Rp 1.000 per kg.

Dengan revisi ini, kenaikan harga per tabung elpiji non subsidi 12 kg rata-rata Rp 14.200 per tabung. Harga per tabung elpiji non subsidi 12 kg di tingkat agen menjadi Rp 89.000 hingga Rp 120.100 terhitung mulai 7 Januari 2014, pukul 00.00 WIB.

Pertamina sendiri telah mengajukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2014 yang menyangkut proyeksi kerugian bisnis elpiji 12 kg. Kerugian Pertamina akan menjadi US$ 0,51 miliar atau sekitar Rp 5,4 triliun, dengan asumsi kurs Rp 10.500 per dolar.

“Dengan kondisi tersebut, proyeksi pertumbuhan profit turun dari 13,17 persen menjadi 5,65 persen,” ujar Ali.

Meski telah dinaikkan, Pertamina mengklaim, harga yang berlaku saat ini masih lebih rendah di kawasan Asia, bahkan dunia.

Sebelum kenaikan, harga jual elpiji biru ini Rp 5.850 per kg. Pada 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga jual menjadi Rp 9.809 per kg. Namun, setelah direvisi, harga jual elpiji menjadi sekitar Rp 6.850 per kg.

Dengan harga jual itu, berdasarkan data yang diperoleh VIVAnews dari Pertamina, harga elpiji non subsidi rumah tangga di Indonesia masih cukup murah. Di India, harga jual elpiji dipatok Rp 12.600 per kg.

Negara tetangga Indonesia, seperti Filipina, bahkan menjualnya di atas Rp 20.000 per kg, yaitu mencapai Rp 24.000 per kg. China, Korea Selatan, dan Jepang juga menjual elpiji di atas harga jual India, tapi masih di bawah Filipina.

Bisnis elpiji 12 kg selama ini selalu merugi, karena Pertamina harus menjual di bawah harga produksi. Harga jual rata-rata Rp 4.944 per kg, sedangkan biaya produksi Rp 10.785 per kg, sehingga terjadi selisih Rp 5.841 per kg, yang dicatat sebagai kerugian.

Pertamina mencatat bahwa harga elpiji 12 kg tidak pernah dinaikkan sejak Oktober 2009. Pada bulan itu, Pertamina menaikkan harga jual elpiji Rp 5.850 per kg dari sebelumnya Rp 5.750 per kg pada Agustus 2008. Saat itu, biaya produksi Rp 7.174 per kg.

Kenaikan harga belum dilakukan hingga akhir 2013, meski biaya produksi meningkat menjadi Rp 10.165 per kg. "Sejak 2009, harga CP (contract price) Aramco telah meningkat Rp 3.790 per kg, sedangkan harga jual elpiji 12 kg tidak meningkat," kata manajemen perusahaan pelat merah itu.

Pada Oktober 2009, harga Aramco sebesar US$ 513 per metrik ton. Pada 2013, harganya meningkat menjadi US$ 873 per metrik ton.

Harga keekonomian

Lantas, berapa sebenarnya harga keekonomian elpiji itu? Beberapa kalangan memperkirakan harga keekonomian elpiji sekitar Rp 16.000 per kg.

Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya, mengatakan, pemain lain tidak mau masuk, karena harganya masih di bawah harga keekonomian. Sebenarnya, Pertamina berharap, suatu saat bisa mencapai harga keekonomian.

Namun, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan, konsumen elpiji 12 kg yang umumnya kalangan menengah ke atas, sebenarnya lebih mengutamakan keberlanjutan pasokan dan kualitas produk, dibandingkan harga.

"Kelas menengah umumnya tidak terlalu sensitif dengan harga," ujar Tulus dalam keterangan tertulisnya.

Ia melanjutkan, secara alamiah, harga memang menjadi pertimbangan bagi semua konsumen, namun bagi kalangan menengah, hal itu bukanlah yang utama.

Hal senada dikemukakan pengamat energi Komaidi Notonegoro. "Paling utama ketersediaan pasokan, lalu kualitas produk, dan baru harga. Artinya, selama pasokan dan kualitas terjamin, harga menjadi tidak masalah," katanya.

Untuk itu, Tulus mengatakan, jaminan ketersediaan elpiji menjadi penting. Sebab, sering kali pasokan tersendat, sehingga harga mengalami kenaikan di luar ketentuan.

Saat ini, komposisi impor elpiji mencapai 59 persen dan sisanya domestik. Dari proporsi domestik tersebut, sebanyak 30,7 persen berasal dari produksi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan 10,1 persen eks kilang Pertamina.

Total kebutuhan elpiji, sesuai realisasi 2013 mencapai 5,6 juta metrik ton per tahun. Sebanyak 4,4 juta ton adalah elpiji PSO atau kemasan 3 kg, dan elpiji 12 kg sebanyak 970 ribu metrik ton. “Jadi, elpiji 12 kg hanya sekitar 17 persen dari kebutuhan nasional,” tutur Hanung.

Pada 2014, total produksi dalam negeri mencapai 6,1-6,2 juta ton. Semua produksi elpiji domestik saat ini sudah dibeli Pertamina. Meskipun untuk menjaga keseimbangan kebutuhan, terpaksa harus impor.

“Untuk itu, diharapkan dalam waktu dekat ada peningkatan produksi domestik, sehingga impor bisa dikurangi,” ujarnya.

Menteri Keuangan, Chatib Basri, menambahkan, porsi elpiji 12 kg yang hanya 17 persen dari kebutuhan nasional, tidak akan berpengaruh besar, kalaupun terjadi migrasi ke tabung 3 kg. “Jadi, kalau elpiji 12 kg tidak dipakai lagi, dan pindah ke 3 kg, dampaknya tidak terlalu besar,” ujar Chatib kepada VIVAnews.

Chatib menambahkan, konsumen akan beralih ke elpiji 3 kg jika selisih harganya cukup besar. Restoran besar, misalnya, tidak akan pindah ke tabung 3 kg.

Dari sisi itu, dia menambahkan, semestinya subsidi sebesar Rp 40 triliun masih cukup. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, mengungkapkan, pemerintah sebelumnya mengalokasikan subsidi gas Rp 30 triliun pada 2013.

Namun, tahun ini, subsidi bakal jebol Rp 10 triliun, bila merujuk pada hasil audit realisasi anggaran oleh BPK. "Itu karena impor elpiji terdampak kurs rupiah," ungkapnya. Dia mengakui, kenaikan konsumsi elpiji juga menjadi salah satu penyebab jebolnya anggaran tersebut.

Potensi gas domestik

Melihat strategisnya gas bagi kebutuhan masyarakat, pengamat energi, Kurtubi, mengatakan, potensi gas Indonesia sangat besar. Bisa mencapai ratusan triliun kaki kubik (TCF).

"Jumlah cadangan terbukti itu ada 150 TCF dan yang belum ditemukan itu ada sekitar 350 TCF. Kemudian, ada shale gas yang potensinya sebesar 450 TCF," kata Kurtubi ketika dihubungi VIVAnews.

Dia menjelaskan, Indonesia adalah negara yang potensi gasnya besar, tapi terlihat seakan-akan kekurangan gas. Kondisi ini disebabkan oleh salahnya pengelolaan gas oleh pemerintah.

Menurut dia, penerapan UU Migas No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menghambat lifting minyak dan gas.

"Gas kita justru dijual murah ke China. Ini membuat rugi Rp 30 triliun per tahun,” tuturnya.

Kondisi ini dinilai merugikan Indonesia. Sebab, Kurtubi melihat ada beberapa sektor yang seharusnya mendapatkan pasokan gas dalam negeri. "Coba lihat ada pembangkit listrik yang kekurangan gas. Bahan bakar gas kita juga kurang," kata dia.

Selain itu, Kurtubi mengatakan, harga gas alam cair tidak ditentukan oleh harga dunia, tapi ditentukan oleh kedua perusahaan migas yang melakukan kontrak pembelian gas.

Lalu, bagaimana dengan elpiji? Dia menilai, produksi elpiji yang dihasilkan Indonesia lebih kecil dibanding kebutuhan nasional. "Kebutuhan elpiji 6 juta metrik ton per tahun, sedangkan produksinya hanya 2,5 juta metrik ton. Ini yang menyebabkan Indonesia mengimpor elpiji," kata dia.(np)

 Nyaris Mencekik Usaha Rohali  

Harga naik. Pelanggan hanya melirik lauk.

Demi mendengar pengumuman itu, Rohali terkejut alang kepalang. Hari baru 2014 itu, Ibu lulusan SMA ini mematut mata ke layar televisi. Tabung gas elpiji 12 kg dibanderol Rp 120 ribu. Astaga! Harga itu terlampau melambung di atas pendapatan usaha Wartegnya di Jakarta Pusat itu. Jika dihitung-hitung, dagangan yang sudah lama dirintis itu bisa habis nafas.

Kalkulator dagangnya langsung menyala. Harga semula sekitar Rp 80 ribu. Naik jadi Rp 120 ribu. Selisihnya Rp 60 ribu. “Ini mah bukan naik lagi tapi ganti harga. Kalau naik mah, seribu dua ribu,” keluhnya kepada VIVAnews.com.

Dicekik harga setinggi itu dia hanya bisa pasrah. Suara orang seperti Rohali memang kerap kali tenggelam dalam perkara seperti ini. Terbenam di keriuhan nyanyian para politisi yang sahut menyahut di media massa.

Dan meski ngeri dengan harga baru itu, Rohali mengaku tetap membeli tabung gas. Kalau tidak, lanjutnya, “Bagaimana kami memasak.” Tanggal 3 Januari 2014, sebelum persediaan di warung itu tandas, Rohali membeli si biru itu. Dan benar saja. Harga baru sudah berlaku.

Harga setinggi itu diputuskan Pertamina tanggal 1 Januari 2014. Alasannya, dengan harga yang lama perusahaan negara itu rugi triliunan. Jumlah kerugian super raksasa itu ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan itu lalu menyarankan harga harus dikerek. Diprotes keras sejumlah kalangan, termasuk si Rohali tadi itu. “ Mau masak pakai apa? Pakai kayu? Saya ngak punya pohon,” protesnya sembari tertawa getir.

Banderol harga baru itu memang bisa membuat Wartegnya bernafas “Senin Kemis”. Mari melihat hitung-hitungan keuangan versi Rohali ini. Di Warung itu, dia menyalakan empat tabung. Semuanya 12 kg. Akan habis dalam tiga empat hari. Dengan harga baru itu, warung itu akan ketimpuk pengeluaran baru 60x4=Rp 240 ribu selama empat hari. Hitung saja berapa tambahan pengeluaran sebulan.

Dengan tambahan pos pengeluaran sebesar itu, katanya, keuntungan yang mestinya bisa ditabung, malah habis-habisan untuk membeli gas. Lalu apa gunanya berjualan. Repot memang.

Kian repotlah Rohali sebab gara-gara kenaikan elpiji itu harga belanjaan di pasar juga melonjak. Padahal Rohali harus saban hari ke pasar. Membeli beras, lauk pauk, sayur dan buah pisang. Dipukul dari dua arah seperti itu, mau tak mau dia mendongkrak harga makanan. Bagi beban dengan pelanggan.

Celakanya para pelanggan itu bukan kelas atas. Kantong mereka pas-pasan. Lantaran harga naik, banyak yang justru menekan selera. “Yang biasanya beli nasi pakai ayam, ganti jadi pakai telur. Ada yang beli nasi pakai ikan, ganti jadi pakai tempe,” kisah Rohali. Jadilah banyak lauk cuma dilirik.

Untung saja harga yang mencekik itu diturunkan. Pada Senin, 6 Januari 2014, Pertamina mengumumkan harga turun menjadi Rp 89 ribu. Berlaku 7 Januari pukul 00.00. Banyak orang setuju dengan harga baru itu. Juga Rohali. Hitung-hitungan keuangannya masih masuk akal.

Rohali sempat berencana berpindah ke elpiji melon 3 kg. Tapi niat itu diurungkan lantaran faktor keselamatan. “Takut lihat berita di televisi, tabungnya meledak. Pokoknya elpiji 12 kg tetap aman buat pedagang,"katanya.

Rohali berharap agar pemerintah peka dengan nasib usaha kecil seperti miliknya itu. Dia berharap agar disesuaikan untuk pedagang seperti dia. Dia mengaku punya enam karyawan. Sewa tempat mahal. “Biaya keamanan Rp 610.000 per bulan. Biaya listrik Rp 800.000 per bulan," katanya.

Harga yang sempat melonjak itu memang mengejutkan banyak orang. Bukan hanya pedagang seperti Rohali, tapi pengusaha seperti Ning Sudjito. Presiden Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia itu mengaku kaget dengan kenaikan elpiji 12 kg itu. Apalagi berlaku mendadak. Sonder sosialisasi kepada masyarakat.

Padahal, katanya, sebagai pengusaha catering sudah menerima banyak sekali pukulan. Dipukul harga cabai yang naik. Harga daging. Tahu dan tempe. “Yang paling parah adalah kenaikan harga cabai yang sudah hampir seperti harga emas," keluhnya.

Padahal, kata Sudjito, 95 persen anggota Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Para pedagang itu, lanjutnya, mengaku kian keteteran jika harga elpiji naik menjadi Rp 120 ribu. “Mereka yang punya rekanan dari kantor pemerintah, banyak yang sudah mematok harga dengan gas harga normal untuk kontrak-kontrak selama 2014. Kontrak dibuat tahun 2013," ujarnya.

Sudah begitu, susah pula pindah ke gas 3 kg. Sebab instalasi yang terpasang memang dipersiapkan untuk elpiji 12 kg. "Lagipula, jika berubah ke gas 3 kg, tidak akan membuat pekerjaan menjadi lebih efektif karena sedikit-sedikit kehabisan gas," tuturnya.

Meskipun harga elpiji 12 kg sudah direvisi oleh pemerintah, Sudjito menegaskan bahwa mereka tetap menaikkan harga makanan rata-rata 15 persen hingga 25 persen.


Harga Elpiji Indonesia Terendah di Asia?

 Belum seminggu naik nyaris Rp4.000/kg, Pertamina menurunkan harga lagi  

Rapat umum pemegang saham PT Pertamina, Senin 6 Januari 2014, akhirnya memutuskan merevisi kenaikan harga elpiji 12 kilogram, dari Rp3.959 per kg menjadi Rp1.000 per kg.

Kenaikan harga hampir Rp4.000 per kg yang berlaku 1 Januari 2014 itu sempat memicu reaksi keras masyarakat dan pelaku usaha. Di antara pelaku usaha kecil yang paling terdampak, bahkan terancam gulung tikar.

Dalam rapat kabinet terbatas Minggu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, langsung meminta Pertamina meninjau ulang kebijakan korporasi itu. Kenaikan harga elpiji 12 kg itu pun direvisi dan berlaku efektif mulai Selasa, 7 Januari 2014, pukul 00.00 WIB.

Harga gas elpiji nonsubsidi 12 kg yang sebelumnya naik Rp117.700 per tabung, diturunkan lagi menjadi Rp82.200 per tabung.

Di tingkat agen, harga itu akan berkisar Rp89.000 hingga Rp120.100 per tabung. Selanjutnya, besaran kenaikan di tingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point).

Namun, Pertamina mengklaim, harga yang berlaku saat ini masih lebih rendah dibanding negara-negara lain. "Harga elpiji nonsubsidi yang dijual di Indonesia paling rendah di kawasan Asia, bahkan dunia," kata Wakil Presiden Komunikasi Korporat Pertamina, Ali Mundakir, ketika dihubungi VIVAnews.

Sebelum kenaikan harga elpiji 12 kg, harga jual elpiji biru ini Rp5.850 per kg. Pada 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga jual menjadi Rp9.809 per kg. Namun, setelah direvisi, harga jual elpiji menjadi sekitar Rp6.850 per kg.

Dengan harga jual itu, berdasarkan data yang diperoleh VIVAnews dari Pertamina, harga elpiji nonsubsidi rumah tangga di Indonesia masih cukup murah. Di India, harga jual elpiji dipatok Rp12.600 per kg.

Negara tetangga Indonesia, seperti Filipina, bahkan menjualnya di atas Rp20.000 per kg, yaitu mencapai Rp24.000 per kg. China, Korea Selatan, dan Jepang juga menjual elpiji di atas harga jual India, tapi masih di bawah Filipina.

China menjual elpiji nonsubsidi sebesar Rp17.000-21.000 per kg, Korea Selatan Rp17.000 per kg, dan Jepang hingga Rp20.000 per kg. "Data-data itu berlaku hingga saat ini," imbuhnya.

Menurut data itu, terdapat negara-negara yang memasarkan elpiji bersubsidi dengan harga lebih rendah. Malaysia menjual elpiji dengan harga Rp6.938 per kg, India sebesar Rp5.500 per kg, dan Thailand Rp7.000 per kg.

Apabila dibandingkan dengan harga elpiji bersubsidi di Indonesia sebesar Rp4.250 per kg, tetap saja harga jual di dalam negeri termasuk paling rendah. "Harga elpiji bersubsidi kita juga paling rendah, kok," kata Ali.

 Kerugian bisnis elpiji 12 kg 

Mengacu harga jual elpiji yang termasuk paling rendah di Asia itu, Pertamina mengklaim rugi puluhan triliun rupiah dari bisnis elpiji 12 kg. Kerugian itu dihitung dari 2008 hingga 2013.

Faktor harga gas dan pelemahan kurs rupiah, menjadi pemicu utama kerugian itu. "Sejak 2008, total kerugian elpiji 12 kg diperkirakan Rp22 triliun dan ini menunjukkan tren meningkat," tulis data Pertamina yang diterima VIVAnews.

Bisnis elpiji 12 kg selama ini selalu merugi, karena Pertamina harus menjual di bawah harga produksi. Harga jual rata-rata Rp4.944 per kg, sedangkan biaya produksi Rp10.785 per kg, sehingga terjadi selisih Rp5.841 per kg, yang dicatat sebagai kerugian.

Pada 2008, total kerugian Pertamina di bisnis elpiji itu mencapai Rp4,7 triliun, sebelum turun menjadi Rp1,1 triliun pada 2009. Kemudian, kerugian kembali meningkat menjadi Rp2,2 triliun pada 2010, dan terus melonjak hingga Rp3,4 triliun pada 2011.

Pada 2012, kerugian Pertamina dari elpiji biru Rp4,7 triliun dan selanjutnya Rp5,7 triliun pada 2013.

Pertamina mencatat bahwa harga elpiji 12 kg tidak pernah dinaikkan sejak Oktober 2009. Pada bulan itu, Pertamina menaikkan harga jual elpiji Rp5.850 per kg dari sebelumnya Rp5.750 per kg pada Agustus 2008. Saat itu, biaya produksi Rp7.174 per kg.

Kenaikan harga belum dilakukan sampai akhir 2013, meski biaya produksi meningkat menjadi Rp10.165 per kg. "Sejak 2009, harga CP (contract price) Aramco telah meningkat Rp3.790 per kg, sedangkan harga jual elpiji 12 kg tidak meningkat," kata manajemen perusahaan pelat merah itu.

Pada Oktober 2009, harga Aramco sebesar US$513 per metric ton. Pada 2013, harganya meningkat menjadi US$873 per metric ton.

Sekadar informasi, konsumsi elpiji 12 kg mencapai 977.000 ton pada 2013. Faktor rupiah juga menjadi penyebab perusahaan pelat merah ini tekor.

"Karena faktor ini, perusahaan pelat merah ini merugi Rp5,7 triliun," tulis data Pertamina itu.

Namun, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, mengungkapkan bahwa Pertamina, secara keseluruhan mendapat untung dalam berbisnis.

Karena, Hadi mengingatkan, Pertamina tidak hanya berbisnis gas. "Pertamina kan banyak unit usahanya, salah satu unit usahanya adalah gas," kata Hadi.

Kendati demikian, dalam unit usaha gas, Pertamina memang mengalami kerugian. Hal itu tampak dalam audit BPK pada 2011-2012.

Gas tersebut ada yang dijual di bawah harga pokok, sehingga ada potensi kerugian. Hanya, secara keseluruhan Pertamina tetap untung.

Pertamina menargetkan laba bersih US$3,44 miliar pada 2014. Dalam Pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), Pertamina menargetkan pertumbuhan aset konsolidasian menjadi US$52,6 miliar, atau naik sekitar 13 persen dibanding 2013.

Untuk target pendapatan senilai US$79 miliar atau setara Rp830 triliun dengan asumsi kurs rupiah terhadap dolar Rp10.500 per dolar AS. Angka pendapatan itu lebih tinggi sekitar 6 persen dibandingkan prognosa pendapatan 2013.

 LNG lebih murah 

Menyikapi potensi kerugian yang masih membayangi Pertamina, pengamat BUMN, Said Didu, memberi wacana penggunaan jaringan gas kota. Harga gas yang menggunakan jaringan gas kota diklaim lebih murah dibandingkan yang dikemas dalam tabung.

Kondisi ini disebabkan gas tersebut tidak memerlukan proses pengolahan tambahan. "Bedakan antara LNG (liquid natural gas) dan LPG (liquid petroleum gas). LNG itu dari gas alam cair, sedangkan LPG itu gas dari pengilangan minyak. LNG itu yang disalurkan lewat pipa gas ke rumah-rumah. Itu lebih murah," kata Said Didu, ketika dihubungi VIVAnews, Selasa, 7 Januari 2014.

Said menuturkan, konsep penyaluran gas ke konsumen rumah tangga lewat pipa gas, sudah diberlakukan di luar negeri. Biayanya diklaim lebih murah ketimbang LPG, karena tidak memerlukan biaya tambahan produksi.

"Tidak perlu lagi tabung. Kalau LPG, kan setelah gasnya diambil, dicairkan, dimasukkan ke dalam tabung, lalu didinginkan kembali. Butuh proses dan biayanya jadi mahal," ujarnya.

Namun, Said tidak menyebutkan perbandingan kedua harga jenis gas ini. "Saya kurang tahu harganya," ujarnya.

Meskipun harga LNG lebih murah, biaya pembangunan infrastrukturnya lebih mahal, karena harus dibangun pipa-pipa terlebih dahulu sebelum bisa menyalurkan gas kepada konsumen. "Itu infrastrukturnya susah. Makanya di sini pakai LPG," kata dia. (umi)


  Vibanews  

RI Bakal Jadi Negara Pertama Gunakan Biofuel Untuk Pesawat

http://images.detik.com/content/2013/12/27/1034/biofuel.jpgJakarta Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) di pesawat udara mulai tahun depan. Ini diklaim Menteri Perhubungan EE Mangindaan sebagai yang pertama di dunia.

"Indonesia bisa saja menjadi negara pertama yang menggunakan sumber bahan bakar nabati bagi penerbangan udara dan dengan target bauran 2% di tahun 2016, 3% di tahun 2020, dan 5% di tahun 2025. Insya Allah tentunya. Karena rencana ini baru direkomendasikan oleh badan penerbangan dunia," ungkap Mangindaan saat MoU antara Ditjen Hubud dan Ditjen Energi Baru Terbarukan tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Pada Bandara dan Pesawat Udara Secara Berkelanjutan di Gedung Karsa Kementerian Perhubungan, Jakarta, Jumat (27/12/2013).

Acara ini jugga dihadiri juga oleh Menteri ESDM Jero Wacil, Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo dan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana.

Nantinya diharapkan penggunaan biofuel pada pesawat udara (aviation biofuel) dan energi terbarukan akan dilakukan secara berkelanjutan mulai tahun depan.

Menurut Mangindaan, pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia masih minim, hanya sebesar 5% dari total bauran energi nasional. Saat ini Indonesia memiliki bahan bakar nabati terbesar kedua setelah Brasil. Pemanfaatan bahan bakar nabati nantinya sebagai pengganti bahan bakar minyak berbasis fosil dan mengurangi efek rumah kaca.

"Peristiwa hari ini adalah inisiatif dari dua kementerian yaitu Kemenhub dan ESDM. Inisiatif pemanfaatan bahan bakar nabati adalah lanjutan komitmen untuk strategi global dan nasional. Pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% di tahun 2020 dan 41% dalam skala internasional," imbuhnya.

Secara hitung-hitungan, kebutuhan avtur PT Pertamina (Persero) pada tahun 2016 diproyeksi mencapai 4,8 juta kiloliter (KL) dan tahun 2020 sebesar 5,8 juta KL. Sehingga diperlukan bioavtur sebesar 95 ribu KL pada tahun 2016, dan 175 ribu KL pada tahun 2017.

"Ini adalah program inisiatif yang diimplementasikan pada pesawat udara dan energi terbaharukan pada bandara udara sudah ada di dalam strategi kami dan di dalam perspektif penerbangan dunia," cetusnya.(wij/dnl)


  detik  

Kisah Indonesia yang Tercoret dari Daftar Negara Kaya Minyak

Jakarta Dulu Indonesia dikenal sebagai negeri kaya minyak. Bahkan Indonesia juga mengekspor hasil produksi minyak ke sejumlah negara dan menjadi salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) sejak 1961.

Namun, turunnya produksi minyak membuat Indonesia harus tercoret dari daftar negara kaya minyak. Pasalnya, Indonesia sudah menjadi importir minyak, sejak 2003. Hal ini semakin ditegaskan pada Mei 2008, Indonesia mengumumkan telah mengajukan surat untuk keluar dari keanggotaannya di OPEC pada akhir 2008.

Kini di tengah terus menurunnya produksi, konsumsi minyak kian melonjak. Alhasil, Indonesia kini harus bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Apa saja yang membuat Indonesia menjadi negara importir minyak? Berikut Berikut ulasan lengkapnya seperti pernah ditulis Liputan6.com, Jumat (27/12/2013):

Kisah Manis dan Pahit Minyak RI

Indonesia melenggang masuk menjadi anggota OPEC pada 1961. Saat itu, Indonesia juga merupakan satu-satunya wakil Asia di OPEC.

Dalam sejarah perminyakan, Indonesia telah dua kali mengalami puncak produksi, yaitu tahun 1977 ketika produksi minyak mencapai 1,65 juta barel per hari (bph). Produksi sebesar itu dihasilkan dari kegiatan produksi yang dilakukan secara primary recovery.

Puncak produksi kedua terjadi tahun 1995 saat produksi minyak kembali pada kisaran 1,6 juta bph. Puncak produksi ini dapat dicapai dari hasil kegiatan Enhance Oil Recovery (EOR) yang dilakukan oleh Chevron, yaitu injeksi air (waterflood) di salah satu lapangannya berhasil meningkatkan produksi dari 12 ribu barel per hari menjadi 32 ribu barel per hari, serta Injeksi uap (steamflood) di lapangan Duri yang terbukti mampu meningkatkan produksi dari 30 ribu barel per hari menjadi 296 ribu barel per hari.

Dengan produksi 1,6 juta barel, saat itu konsumsi minyak Indonesia hanya 800 ribu bph sehingga Indonesia mampu mengekspor minyak.

Namun, Indonesia tidak bisa mempertahankan prestasinya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi minyak mentah terus menurun sejak 1997 yang turun menjadi 1,557 juta bph. Kemudian pada 2006 turun lagi menjadi 1,071 juta bph. Bahkan pada 2007, produksi minyak Indonesia berada di bawah 1 juta bph yaitu 952 ribu bph dan terus merosot.

Hal itulah yang membuat Indonesia mengajukan surat keluar dari anggota APEC pada Mei 2008. Menurut Purnomo Yusgiantoro yang saat itu menjabat sebagai Menteri ESDM, status Indonesia sebagai negara pengimpor minyak dengan tingkat produksi yang terus menurun menyebabkan Indonesia memiliki perbedaan kepentingan dengan OPEC. Lagipula sejak 2003, Indonesia sudah menjadi importir minyak.

Produksi Minyak yang Kian Menipis

Dari tahun ke tahun, produksi minyak Indonesia terus merosot. Sempat menyentuh produksi puncak 1,6 juta bph, kini Indonesia hanya mampu memproduksi minyak setengahnya yaitu 826 ribu bph.

Kepala Plt Satuan Kerja Khusus Pelaksan kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Yohanes Widjonarko mengakui produksi minyak Indonesia terus menurun hingga 30%. Salah satu penyebabnya adalah semakin tuanya ladang-ladang minyak yang ada di Indonesia.

Kondisi itu semakin diperparah karena tidak adanya penemuan cadangan minyak dalam jumlah besar. Alhasil Indonesia hanya mengeruk cadangan minyak yang ada.

Dalam lima tahun terakhir rasio penemuan cadangan baru terhadap produksi (reserves replacement ratio/RRR) sekitar 52%. Padahal idealnya, angka reserves replacement ratio di atas 100% agar setiap satu barel minyak yang diproduksi dapat diimbangi dengan penemuan cadangan dari kegiatan eksplorasi yang hasilnya lebih dari satu barel.

"Dari 321 wilayah kerja, lima tahun terakhir RRR minyak turun 52%, artinya cadangan minyak lebih rendah dibanding yang diproduksi," kata Widjonarko di Jakarta, Selasa 22 Oktober 2013.

Data SKK Migas menunjukkan cadangan minyak RI terus menurun. Pada awal 2012, cadangan minyak Indonesia berada di level 3,74 miliar barel, namun di awal tahun ini turun 150,39 juta barel menjadi 3,59 miliar barel. Jika kegiatan eksplorasi tidak digencarkan, cadangan minyak Indonesia bakal segera habis dalam 12 tahun.

Ada banyaknya kendala telah membuat investor enggan melakukan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan baru. "Kurangnya insentif, sosial, ekonomi, teknis, dan regulasi," ungkap dia.

Sementara itu, untuk menggenjot produksi minyak dari lapangan yang sudah tua membutuhkan teknologi tinggi seperti EOR. Semakin tua lapangan maka biaya produksinya lebih tinggi.

Impor Jadi Pilihan

Di tengah menurunnya produksi minyak Indonesia, jumlah BBM yang dikonsumsi masyarakat di Tanah Air justru semakin besar sejalan dengan terus tumbuhnya ekonomi Indonesia.

Data PT Pertamina (Persero) menunjukkan konsumsi solar naik 21% dan premium naik 14% dalam setahun terakhir. Dalam sehari, konsumsi BBM masyarakat Indonesia mencapai 1,5 juta bph, sementara produksi minyak nasional sekitar 840 ribu bph.

Tak ada pilihan lain, opsi impor harus diambil. Saat ini Indonesia tercatat mengimpor minyak mentah dan BBM sebanyak 765 ribu bph guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sejauh ini, persentase untuk produksi dalam negeri dan impor minyak mentah saja mencapai masing-masing berjumlah 61% dan 39%. Minyak mentah impor yang diimpor Pertamina paling banyak berasal dari Saudi Arabia sebesar 34,67%, impor minyak mentah kedua berasal dari wilayah Mediterania 31,11%, Afrika Barat 25,79% , Asia Pasifik 5,25% dan pecaha Uni Soviet 3,18%.

Terakhir Bangun Kilang Zaman Soeharto

Tak hanya produksi minyak, masalah fasilitas pengolahan minyak juga menjadi kendala dalam pemenuhan konsumsi BBM di dalam negeri. Data menunjukkan, Pertamina hanya memiliki 6 kilang pengolahan minyak di Indonesia.

Kilang minyak Pangkalan Brandan yang kini sudah tidak beroperasi merupakan salah satu cikal bakal kilang minyak Pertamina yang dibangun sejak penjajahan Belanda. Kilang lain seperti Plaju dan Balikpapan juga warisan zaman Belanda.

Meski baru resmi berdiri sejak 10 Desember 1957, jejak kilang PT Pertamina (Persero) sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Meski begitu sepanjang rentang sejarahnya, Pertamina kini tercatat hanya memiliki enam unit kilang minyak yang memiliki kapasitas 1,05 juta barel per hari (bph).

Keenam kilang milik Pertamina yaitu Kilang Dumai, Kilang plaju, Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Balongan dan Kilang Sorong.

Dari total kapasitas kilang tersebut, hanya mampu memproduksi minyak sebanyak 700 ribu-800 ribu bph. Sementara, konsumsi bahan bakar minyak Indonesia saat ini mencapai 1,5 juta-1,6 juta bph dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu membuat jumlah impor minyak dan BBM Indonesia terus tumbuh setiap tahunnya.

Rendahnya produksi BBM domestik disebabkan perusahaan migas pelat merah itu tidak menambah kilang sejak tahun 1995. Kilang terakhir yang dibangun Pertamina yaitu kilang Balongan pada 1994.

"Terakhir kita bangun kilang itu pas zaman pemerintahan Soeharto. Setelah itu, tidak ada kilang dibangun. Semua hanya sebatas wacana," jelas Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu 19 Juni 2013.

Sebenarnya pemerintah sudah menandatangani nota kesepahaman (MoU) pembangunan kilang dengan pemerintah negara lain maupun perusahaan asing. Sejumlah negara yang sudah menyatakan kesiapannya untuk membangun kilang di Tanah Air yaitu Jepang, Iran, Saudi Arabia dan Kuwait, namun tidak ada satupun yang dieksekusi pemerintah.

"Dulu alasannya biaya besar dan margin kecil, lalu belakangan setelah sudah banyak yang minat investasi, isunya beralih dari insentif tax holiday dan pembebasan bea masuk yang diminta investor. Aturan tax holiday bea masuk sudah ada, nyatanya sampai sekarang masih tidak jalan," ungkap Marwan.

Lambatnya penambahan kilang di Indonesia, menurut Marwan, tak lepas dari pengaruh mafia minyak yang diuntungkan dari aktivitas impor BBM di Tanah Air.

Jika pemerintah berniat menambah kapasitas kilang, harusnya Indonesia mencontoh India yang dalam tiga tahun bisa membangun kilang besar dengan kapasitas 1,1 juta bph. Proyek itu bahkan dibangun perusahaan lokal India. "India sekarang punya kompleks kilang minyak terbesar di dunia," papar Marwan.

Beri Subsidi Besar-besaran

Meski sudah menjadi negara importir minyak, Indonesia hingga kini masih memberikan subsidi BBM buat rakyatnya. Dana subsidi ini selalu dicantumkan dalam Anggaran Belanja Pendapatan Negara (APBN). Uang yang dikucurkan untuk subsidi BBM dari tahun ke tahun terus meningkat.

Pada 2009, pemerintah telah menggelontorkan dana subsidi BBM Rp 45 triliun. Seiring dengan meningkatkanya konsumsi BBM di Tanah Air, subsidi BBM tahun ini diprediksi bisa menembus Rp 224 triliun.

Untuk mengurangi besaran subsidi BBM sebenarnya pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi jenis premium dan solar mulai Sabtu, 22 Juni 2013 pukul 00.00 WIB. Harga premium naik Rp 2.000 menjadi Rp 6.500 per liter dan solar naik Rp 1.000 menjadi Rp 5.500 per liter.

Bukan oleh Presiden, kenaikan harga diumumkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Keekonomian, Lapangan Banteng Jakarta.

Meski sudah dinaikkan, pemerintah mengaku masih memberikan subsidi BBM yang cukup besar bagi rakyat. Sebenarnya dengan dana itu, Indonesia bisa membangun banyak infrastruktur seperti pembangkit listrik, jalan tol dan kilang minyak.

Cara Efektif Tekan Impor Minyak

Ada beberapa cara yang bisa diambil Indonesia untuk menekan konsumsi Impor minyak. Salah satunya mengalihkan konsumsi BBM ke gas.

Langkah pertama yang bisa diambil pemerintah yaitu dengan merealisasikan program konversi BBM ke bahan bakar gas. Pasalnya, harga gas jauh lebih murah dari BBM. Saat ini harga keekonomian BBM mencapai Rp 9.500-Rp 10 ribu per liter, sementara gas hanya Rp 4.100 per liter setara premium (lsp).

Tak hanya impor BBM yang bisa ditekan, subsidi BBM juga bisa turun drastis. Apalagi harga premium dan solar saat ini lebih mahal dari gas, yaitu Rp 6.500 untuk premium dan solar Rp 5.500.

Penggunaan gas untuk bahan bakar kendaraan juga diterapkan di banyak negara. Selain lebih murah, gas juga energi yang ramah lingkungan.

Menurut Pengamat Energi Darmawan Prasodjo, pemerintah harus cepat bergerak agar program ini bisa terealisasi. Mengingat, Indonesia juga memiliki sejumlah proyek gas skala besar yang sedang dikembangkan sehingga nantinya bisa memasok gas lebih banyak ke domestik.

"Contoh di Pakistan saja sudah pakai 70%-80% gas, padahal negara itu tidak punya gas. Pakistan rela beli gas dari spot market karena keekonomian memang lebih baik dari BBM," ungkap lulusan dari Texas A & M University tersebut.

Opsi lain yang bisa diambil yaitu mengembangkan ethanol sebagai pengganti BBM. Pengembangan ethanol sebaiknya tidak menggunakan bahan baku minyak jarak karena tidak ekonomis, tapi memakai singkong gajah.

Pemanfaatan ethanol sebagai bahan bakar bisa membantu Indonesia mengurangi impor minyak dan BBM dari sejumlah negara Timur Tengah.(Sis/Ndw/*)


  Liputan 6  

Bersama Perusahaan Belanda, Pertamina Akuisisi 2 Blok Migas

http://images.detik.com/content/2013/12/02/1034/karen4.jpgJakarta - Perusahaan minyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Pertamina (Persero) terus gencar melakukan aksi korporasi dengan membeli sejumlah blok migas. Terbaru, Pertamina bersama dengan PTTEP Netherlands Holding Cooperatie U.A mengakuisisi anak usaha Hess di Indonesia yang mempunyai saham di 2 blok migas.

Lewat akuisisi anak usaha Hess di Indonesia ini, Pertamina dan PTTEP menguasai 75% saham atau prticipating interest di Blok Pangkah, dan 23% di Blok Natuna Sea A.

Menurut VP Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir, akuisisi ini dilakukan secara bersama-sama antara Pertamina dan PTTEP dengan basis persentase 50:50 untuk total nilai transaksi sekitar US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 13 triliun. Waktu penyelesaian untuk transaksi ini akan dilaksanakan sesuai dengan beberapa syarat yang ditetapkan dalam SPA (share purchase agreement).

"Blok Pangkah merupakan wilayah kerja yang terletak di bagian Timur Laut Jawa. Produksi saat ini sekitar 7.000 barel per hari minyak/kondensat dan 33 juta kaki kubik per hari gas," kata Ali dalam siaran pers, Senin (2/12/2013).

Sementara itu total cadangan terbukti dan potensi cadangan (2P) di Blok Pangkah diperkirakan sekitar 110 juta barel setara minyak. Dengan akuisisi ini maka Blok Pangkah secara otomatis akan dioperatori bersama oleh Pertamina dan PTTEP.

Adapun, Blok Natuna Sea A merupakan wilayah kerja gas yang terletak di Laut Natuna Barat, berdekatan dengan perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Produksi saat ini sekitar 145 MMscfd dari Lapangan Anoa, 75 MMscfd dari Gajah Baru dan 2.350 barel per hari minyak.

Total cadangan terbukti dan potensi cadangan (2P) diperkirakan sebesar 209 juta barel setara minyak. Adapun partner lain di Blok Natuna Sea A terdiri dari Premier Oil (operator), KUFPEC dan Petronas yang masing-masing menguasai hak partisipasi 28,67%, 33,33% dan 15%.

Akuisisi Blok Pangkah dan Natuna Sea A sejalan dengan strategi pertumbuhan Pertamina untuk mengakuisisi lebih banyak aset berproduksi yang dapat memberikan tambahan produksi dan cadangan. Lebih dari itu, akuisisi ini juga akan terus memperkuat posisi Pertamina sebagai tulang punggung ketahanan energi nasional Indonesia.

Pertamina menargetkan untuk menjadi pemain hulu migas yang dominan di domestik pada 2015 dan memperluas ekspansi internasionalnya. Pada tahun 2025, produksi Pertamina diproyeksikan mencapai 2,2 juta barel setara minyak per hari yang akan berasal dari operasi domestik dan luar negeri dalam proporsi yang seimbang.

Pertamina optimistis kerjasama antara Pertamina dan PTTEP yang masing-masing memiliki pengalaman operasional yang kuat akan berkontribusi pada kesuksesan dalam pelaksanaan akuisisi ini.

Pertamina cukup gencar melakukan akuisisi aset-aset migas, pada Kamis 28 November 2011 lalu, Pertamina mengakuisisi unit bisnis ConocoPhillips di Aljazair yang bernama ConocoPhillips Algeria Limited (COPAL). Nilai akuisisi mencapai US$ 1,75 miliar atau sekitar Rp 17,5 triliun.

Lalu, Pertamina lewat anak usahanya yaitu PT Pertamina Irak Eksplorasi Produksi, juga membeli 10% saham atau hak partisipasi di blok minyak West Qurna I Irak milik ExxonMobil Irak Limited.


  detik 

Pertamina Beli Ladang Exxon di Irak

Hak partisipasi Pertamina di West Qurna I Irak telah disepakati. 

PT Pertamina Irak Eksplorasi Produksi, anak perusahaan PT Pertamina, telah menuntaskan penyelesaian kesepakatan penjualan aset (asset sales agreement/ASA) dengan ExxonMobil Iraq Limited untuk 10 persen hak partisipasi di West Qurna I, Irak.

Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, Sabtu 30 November 2013, menjelaskan aksi korporasi ini adalah tonggak strategis bagi Pertamina. Sayap bisnis perusahaan itu akan meluas ke mancanegara, khususnya di negara dengan minyak dan gas melimpah seperti Irak.

"Ekspansi Pertamina ke luar negeri adalah untuk mendukung pemerintah dalam menjaga serta memperkuat ketahanan energi Indonesia yang berkelanjutan," ujar Karen dalam keterangan tertulisnya.

ExxonMobil, ia melanjutkan, tetap sebagai kontraktor utama dengan menguasai 25 persen hak partisipasi di West Qurna I.

Pemindahan hak partisipasi tersebut pun telah disetujui oleh konsorsium kontraktor West Qurna I yang terdiri dari South Oil Company, Oil Exploration Company Iraq, dan Shell West Qurna B.V.

Akuisisi ini, menurut Karen, memberikan kesempatan menarik bagi Pertamina untuk memperkuat kompetensi dan pengalamannya dari usaha di luar negeri.

"Partisipasi Pertamina di konsorsium kontraktor West Qurna I merupakan batu loncatan untuk mencapai visi perusahaan menjadi perusahaan energi kelas dunia," kata Karen.