Nanoteknologi farmasi Indonesia makin berkembang
Dekan Universitas Pancasila |
"Dalam lima tahun terakhir ini perkembangan nanoteknologi farmasi di Indonesia cukup maju," kata Profesor Doktor Wahono Sumaryono, Apt. di sela acara seminar internasional yang bertajuk "Biopolymeric Micro/nanoparticles for Drug and Protein Delivery" di Aula Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta, Sabtu.
Seminar tersebut menampilkan pembicara dari luar negeri dan dalam negeri seperti Prof. Garnpimol C. Ritthidej (Chulalangkorn University, Thailand), Jing Zhao (National University Singapore), Dr. Mike Ahern (School of Science, Institute of Technology Tallaght, Dublin Irlandia).
Pembicara dari dalam negeri, antara lain Prof. Habil H.J. Freisleben (Faklutas Farmasi Universitas Indonesia), Dr. Heni Rachmawati (ITB), dan Dr. Deni Rahmat (Universitas Pancasila).
Wahono mengatakan bahwa nanoteknologi farmasi merupakan ilmu-ilmu farmasi yang menggabungkan teknologi farmasi, kimia farmasi, biologi farmasi, bioteknologi farmasi, dan lainnya.
Dengan adanya nanoteknologi farmasi, kata dia, tentunya memberikan peluang baru dalam sistem penghantaran obat dan strategi dalam penargetan obat sehingga lebih tepat sasaran.
"Akan tetapi, kami juga perlu mengetahui efek samping seperti apa yang ditimbulkan," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, nanoteknologi farmasi dapat mengatasi permasalahan yang timbul dalam formulasi obat, protein, peptida, dan asam nukleat yang menghasilkan bioavailabilitas dan efek klinis yang rendah.
Dalam konferensi tingkat internasional, kata dia, tidak hanya membahas perkembangan terakhir dalam nanoteknologi farmasi, tetapi juga pengembangan penemuan-penemuan dan teknologi baru untuk perbaikan efek klinis obat.
"Negara-negara di Eropa Barat, Jepang, Singapura, bahkan Thailand perkembangan nanoteknologi sudah maju. Mereka sudah lebih dari sepuluh tahun lalu mengembangkannya," katanya.
Menurut dia dengan adanya nanoteknolgi farmasi tentunya akan menguak revolusi dunia di bidang farmasi tersebut karena nanoteknologi mampu mengurangi bahan baku obat sehingga penggunaannya lebih sedikit daripada tidak menggunakan nanoteknologi.
"Biaya bahan baku obat lebih murah dan sedikit, tetapi memang dibutuhkan investasi besar dalam mengembangkan nanoteknologi," katanya.
Ia mengatakan bahwa saat ini perkembangan nanoteknologi bukan hanya di farmasi, melainkan juga di bidang lainnya seperti kosmetik.
"Banyak industri kosmetik yang memanfaatkan keungggulan nanteknologi tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno memandang perlu peran negara dalam mengembangkan nanoteknologi farmasi karena biaya yang dikeluarkan untuk investasi di bidang tersebut relatif sangat besar.
"Untuk pembuatan laboratorium nanoteknologi dibutuhkan dana sekitar Rp1 triliun sampai Rp2 triliun," katanya.
Menurut dia, Indonesia harus mengikuti perkembangan nanoteknologi farmasi karena saat ini negara-negara lain sudah mengembangkannya jauh lebih maju.
"Kalau kita tidak mengembangkan, akan jauh tertinggal dengan negara-negara lain," ujarnya.
Dikatakannya Pemerintah bisa menugasi BUMN yang berkaitan dengan hal tersebut seperti Kimia Farma ataupun Biofarma untuk mengembangkan nanoteknologi farmasi.
"BUMN bidang farmasi ini bisa menjadi ujung tombak pengembangan nanoteknologi farmasi di Indonesia," katanya.(F006/D007)
0 komentar:
Posting Komentar