Mahasiswa ITS Rancang Kota Apung

Mahasiswa ITS Rancang Kota Apung
Ilutrasi
Surabaya - Reklamasi pantai yang diharapkan menjadi jalan keluar bagi perluasan lahan pemukiman justru menimbulkan masalah baru. Hal itulah yang melatarbelakangi tiga mahasiswa Jurusan Arsitektur dan Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Rigan Satria A Putra, Puput Wiyono, dan Titis Wahyu, tergerak untuk menciptakan ide kota apung masa depan.

Ide itu dituangkan dalam Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM GT) dengan judul “Surabaya Frishhap Kota Terapung Masa Depan dengan Desain Floating Ring Shaped Plate sebagai Solusi Pemekaran Kota Surabaya”. Pada Pekan Ilmiah Mahasiswa (Pimnas) XXVI dua pekan lalu di Mataram, Nusa Tenggara Barat, karya mereka meraih medali emas.

Rigan Satria menyatakan, dampak negatif reklamasi bukan satu-satunya hal yang melatarbelakangi munculnya ide kota apung. Naiknya permukaan air laut dan juga tingginya laju pertumbuhan penduduk menjadi alasan lain penciptaan ide tersebut. “Kalau dengan reklamasi, selain merugikan manusia, juga merugikan habitat laut, bahkan merusaknya,” ujar mahasiswa Jurusan Arsitektur angkatan 2009 ini.

Dalam kota apung ini ada beberapa bangunan yang merupakan fasilitas umum dan juga pemukiman warga. Bangunan utama memiliki diameter sepanjang 200 meter dan mampu menampung 12.000 penghuni. “Di main building terdapat rumah sakit, sekolah, dan fasilitas umum lainnya,” kata Rigan, Sabtu, 28 September 2013.

Sedangkan di setiap ‘cincin’ area rumah apung dapat dihuni hingga 32 orang. Pembuangan limbah juga tak luput dari perhitungan. Sebelum akhirnya di buang ke laut, limbah akan terlebih dahulu diolah sehingga tidak mencemari kawasan perairan. Kota apung ini bisa diterapkan di daerah pesisir manapun yang merupakan perairan tenang.

Komponen bangunan utama kota apung sendiri terdiri dari beberapa bagian. Yakni top rise, area fluktuatif, town ring, dan badan tumpu. Top rise  merupakan bagian bangunan paling atas yang menggunakan konstruksi baja sebagai struktur penangkal petir dan penangkap sinyal. Sedangkan town ring merupakan bagian bawah bangunan yang terbuat dari bahan kedap air sehingga dapat menerima gaya tekan air dengan baik.

Antara top rise dan town ring  dihubungkan dengan area fluktuatif. Area ini didukung sistem pegas sehingga dapat meredam tumbukan. “Konsepnya ini sama seperti kereta monorel. Jadi antara bagian atas dan bawah tidak langsung menempel sehingga tahan terhadap goncangan gempa, apalagi hanya pergerakan permukaan air laut,” kata mahasiswa yang sekarang melanjutkan S2 Perancangan Arsitektur di ITS ini.

Pondasi kota apung tertancap ke dasar laut namun bersifat floating fluktuatif terhadap pergerakan air. Sehingga efek dari pergerakan air tidak terlalu berarti dibandingkan dengan reklamasi alias pondasi tidak gampang rusak.

Konsep kota apung dirancang tanpa kendaraan pribadi karena sudah disediakan transportasi umum untuk para penghuninya. Hal tersebut untuk mewujudkan green architecture dalam rancangan kota apung yang dibuat.

Selain aksesibilitas, pembangkit listrik pun tidak menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM), namun memanfaatkan kondisi alam yang ada di sana. “Di area laut kan kaya angin, jadi kita menggunakan kincir angin, selain itu juga memanfaatkan solar cell dari sinar matahari,” lanjut Rigan.

Menurut Rigan konsep kota apung yang dipadukan dengan green concept architecture  membutuhkan investasi awal yang tidak sedikit. Namun konsep ini memang dirancang agar ramah lingkungan dan efisien. “Memang dibutuhkan investasi yang besar di awal untuk merealisasikan konsep ini, tapi pasti akan sustainable dalam jangka waktu 50 sampai 100 tahun,” kata dia.


  Tempo 

0 komentar:

Posting Komentar