Sepatu Anti-kekerasan Seksual Buatan Putra Kopral Kepala
Hibar Syahrul Gafur (14) terlihat masih lelah seusai penerbangan Kuala Lumpur-Jakarta sehari sebelumnya. Namun, Senin (13/5) pagi itu, ia tetap bersemangat menenteng sebuah tas tangan berisi sepatu anti-kekerasan seksual. Sepatu kreasi yang mengantarkannya meraih medali emas di ajang bergengsi para penemu muda tingkat internasional di Malaysia.
Pagi itu, siswa kelas II SMPN 1 Kota Bogor, Jawa Barat, tersebut menata sepatu kulit berhak tinggi, satu sol sepatu modifikasi, serta beberapa tester listrik. Ia dengan bersemangat membeberkan mekanisme kerja sepatu yang bisa menyalurkan listrik berdaya 450 volt itu, cukup untuk mengejutkan, sekaligus membuat ”lumpuh” manusia selama beberapa menit.
Arus listrik itu disalurkan melalui dua lempeng logam pipih panjang yang dipasang di ujung sol sepatu. Semua komponen elektrik disusun di bagian dalam sol sepatu. Sumber listrik berasal dari baterai berkekuatan 9 volt yang bisa diisi ulang.
Baterai tersebut dihubungkan dengan kapasitor yang menaikkan kapasitas, sekaligus menstabilkan daya listrik sebelum disalurkan ke transistor. Setelah itu, daya ditingkatkan melalui trafo kecil dengan perbandingan 1:50. Artinya, kapasitas baterai 9 volt bisa dinaikkan menjadi 450 volt.
Pengaliran listrik dikendalikan sebuah tombol di sisi sol sepatu yang dilengkapi dengan light emitting diode (LED) yang menyala saat sistem bekerja. Menurut Hibar, baterai itu bisa bertahan sehari dalam posisi siaga dan bisa digunakan untuk ”menyengat” berkali-kali. Dia menunjukkan sengatan itu dengan menempelkan obeng kecil di lempengan tersebut, yang lalu menghasilkan percikan api kecil.
”Kalau berada di tempat ramai, seperti di mal, tidak usah dinyalakan. Kalau berada di daerah sepi, baru dinyalakan. Begitu ada orang yang berniat jahat, tinggal ditendang pakai sepatu. Begitu dia kaget dan lemas, bisa melarikan diri,” tutur Hibar saat ditemui di SMPN 1 Kota Bogor.
Hibar mengaku ide itu muncul pada Juli-Agustus 2012. Saat itu, dia membaca pengumuman lomba National Young Inventor Awards (NYIA) oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di papan pengumuman di sekolahnya. Hibar tertarik untuk turut serta karena selama ini dia aktif dalam kegiatan ekstra kelompok ilmiah remaja di SMPN 1.
Saat memikirkan kreasi yang akan dikirim ke lomba itu, Hibar menonton tayangan di televisi mengenai maraknya pelecehan seksual dan pemerkosaan di Jabodetabek. Pada saat hampir bersamaan, di salah satu situs dia juga membaca kasus pemerkosaan oleh sekelompok pemuda terhadap pelajar putri di India.
”Saya berpikiran membuat perlindungan untuk perempuan. Sempat terpikir mau membuat bra yang diberi listrik, tapi saya batalkan karena bahaya. Akhirnya kepikiran sepatu karena biasanya selalu digunakan. Selain itu juga tersembunyi,” tuturnya.
Pinjam uang
Proses pembuatan sepatu itu tidak semudah membalik telapak tangan. Hibar pertama menceritakan idenya kepada sang bunda, Ny Sri Hendrayanti (42). Ia mendapat dukungan penuh dari Sri. Jamaluddin (46), sang ayah, pun mendukung. Jamaluddin meminta bantuan kerabat yang paham sistem kelistrikan untuk membimbing Hibar.
Berkali-kali Hibar gagal. Tersengat listrik pun sudah tak terhitung. Ia juga berusaha berhemat sehingga model awal bisa dibuat dengan modal sekitar Rp 1 juta. Uang itu tabungan Hibar serta dukungan dari ayahnya.
”Untuk sol sepatu, saya sampai ke Ciomas (Kabupaten Bogor). Karena di sana menjual partai besar, saya minta sepasang sol contoh. Itu yang saya gunakan,” katanya.
Hasilnya, di ajang NYIA LIPI, sepatu anti-kekerasan seksual itu menjadi salah satu finalis. Hibar juga ditawari LIPI untuk mengikutsertakan karyanya dalam International Invention, Innovation, and Technology Exhibition 2013 yang diselenggarakan Ministry of Science, Technology, and Innovation Malaysia di Kuala Lumpur, 9-11 Mei 2013. Biaya transportasi dan akomodasi Hibar ditanggung LIPI.
”Itu kesempatan besar, jadi saya berusaha membantu mencarikan uang untuk anak saya menyempurnakan sepatu. Apalagi ini bisa membanggakan negara,” ujar Jamaluddin.
Jamaluddin yang sehari-hari bertugas di Pusat Pendidikan Zeni TNI Angkatan Darat di Bogor dengan pangkat kopral kepala itu mengaku meminjam uang Rp 2 juta dari mertuanya. Keluarga Kopral Kepala Jamaluddin hidup sederhana. Sebagai prajurit, ia mendapat gaji berikut berbagai tunjangan, termasuk beras dan lauk-pauk maksimal Rp 3,5 juta per bulan. Ia harus menghidupi istri dan dua anak. Karena itu, seusai waktu dinas, Jamaluddin juga menyambi menawarkan jasa ojek di Baranangsiang, Kota Bogor. Ia bisa mendapat tambahan Rp 10.000-Rp 50.000 dari menawarkan jasa ojek selama 4-5 jam.
”Saya sudah mengirim proposal minta bantuan ke Wali Kota Bogor, tetapi hingga anak saya pulang, tidak ada tanggapan. Saya hanya bisa mengelus dada,” kata Jamaluddin. Namun, ia juga bersyukur ada orang- orang yang peduli, lalu membantu. Termasuk ada yang sebulan terakhir membiayai anaknya kursus bahasa Inggris.
Produksi massal
Pengorbanan sang ayah tidak sia- sia. Di Malaysia, karya Hibar mendapat pengakuan. Sepatu anti-kekerasan seksual itu meraih medali emas untuk kategori safety and health. Karyanya pun semakin baik.
Beberapa kesalahan pada karya pertama, seperti potensi hubungan arus pendek listrik, serta bentuk yang kurang menarik sudah diatasi. Sepatu kedua didesain kedap air.
”Tetapi, saya agak sedih juga saat pameran ada mahasiswa Malaysia yang bertanya terlalu dalam soal fisika. Saya belum bisa jawab. Malah dia bilang saya bodoh. Katanya, orang Indonesia enggak ada apa-apanya dibanding orang Malaysia,” ujarnya. ”Tapi saya diamkan saja. Kalau saya tanggapi, artinya saya sama saja dengan dia,” lanjutnya.
Ia mengaku masih ingin menyempurnakan karyanya itu, mematenkannya, lalu memproduksinya secara massal. Dengan begitu, hal itu bisa membantu mengurangi tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan di Jabodetabek, bahkan di Indonesia.
Dia berharap ada pengusaha swasta yang tertarik memproduksi sepatu tersebut. Dengan produksi massal, biaya bisa ditekan dan sol sepatu bisa dibuat lebih tipis.
”Sudah ada dua orang yang tertarik, tetapi masih belum ada pembicaraan lebih lanjut. Kami sudah berkonsultasi dengan instansi terkait di Pemerintah Kota Bogor, tetapi mungkin belum ada kesempatan,” kata Wakil Kepala SMPN 1 Kota Bogor Budiman Budi Wibowo.
• Lahir: Bogor, 26 Desember 1998
Pagi itu, siswa kelas II SMPN 1 Kota Bogor, Jawa Barat, tersebut menata sepatu kulit berhak tinggi, satu sol sepatu modifikasi, serta beberapa tester listrik. Ia dengan bersemangat membeberkan mekanisme kerja sepatu yang bisa menyalurkan listrik berdaya 450 volt itu, cukup untuk mengejutkan, sekaligus membuat ”lumpuh” manusia selama beberapa menit.
Arus listrik itu disalurkan melalui dua lempeng logam pipih panjang yang dipasang di ujung sol sepatu. Semua komponen elektrik disusun di bagian dalam sol sepatu. Sumber listrik berasal dari baterai berkekuatan 9 volt yang bisa diisi ulang.
Baterai tersebut dihubungkan dengan kapasitor yang menaikkan kapasitas, sekaligus menstabilkan daya listrik sebelum disalurkan ke transistor. Setelah itu, daya ditingkatkan melalui trafo kecil dengan perbandingan 1:50. Artinya, kapasitas baterai 9 volt bisa dinaikkan menjadi 450 volt.
Pengaliran listrik dikendalikan sebuah tombol di sisi sol sepatu yang dilengkapi dengan light emitting diode (LED) yang menyala saat sistem bekerja. Menurut Hibar, baterai itu bisa bertahan sehari dalam posisi siaga dan bisa digunakan untuk ”menyengat” berkali-kali. Dia menunjukkan sengatan itu dengan menempelkan obeng kecil di lempengan tersebut, yang lalu menghasilkan percikan api kecil.
”Kalau berada di tempat ramai, seperti di mal, tidak usah dinyalakan. Kalau berada di daerah sepi, baru dinyalakan. Begitu ada orang yang berniat jahat, tinggal ditendang pakai sepatu. Begitu dia kaget dan lemas, bisa melarikan diri,” tutur Hibar saat ditemui di SMPN 1 Kota Bogor.
Hibar mengaku ide itu muncul pada Juli-Agustus 2012. Saat itu, dia membaca pengumuman lomba National Young Inventor Awards (NYIA) oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di papan pengumuman di sekolahnya. Hibar tertarik untuk turut serta karena selama ini dia aktif dalam kegiatan ekstra kelompok ilmiah remaja di SMPN 1.
Saat memikirkan kreasi yang akan dikirim ke lomba itu, Hibar menonton tayangan di televisi mengenai maraknya pelecehan seksual dan pemerkosaan di Jabodetabek. Pada saat hampir bersamaan, di salah satu situs dia juga membaca kasus pemerkosaan oleh sekelompok pemuda terhadap pelajar putri di India.
”Saya berpikiran membuat perlindungan untuk perempuan. Sempat terpikir mau membuat bra yang diberi listrik, tapi saya batalkan karena bahaya. Akhirnya kepikiran sepatu karena biasanya selalu digunakan. Selain itu juga tersembunyi,” tuturnya.
Pinjam uang
Proses pembuatan sepatu itu tidak semudah membalik telapak tangan. Hibar pertama menceritakan idenya kepada sang bunda, Ny Sri Hendrayanti (42). Ia mendapat dukungan penuh dari Sri. Jamaluddin (46), sang ayah, pun mendukung. Jamaluddin meminta bantuan kerabat yang paham sistem kelistrikan untuk membimbing Hibar.
Berkali-kali Hibar gagal. Tersengat listrik pun sudah tak terhitung. Ia juga berusaha berhemat sehingga model awal bisa dibuat dengan modal sekitar Rp 1 juta. Uang itu tabungan Hibar serta dukungan dari ayahnya.
”Untuk sol sepatu, saya sampai ke Ciomas (Kabupaten Bogor). Karena di sana menjual partai besar, saya minta sepasang sol contoh. Itu yang saya gunakan,” katanya.
Hasilnya, di ajang NYIA LIPI, sepatu anti-kekerasan seksual itu menjadi salah satu finalis. Hibar juga ditawari LIPI untuk mengikutsertakan karyanya dalam International Invention, Innovation, and Technology Exhibition 2013 yang diselenggarakan Ministry of Science, Technology, and Innovation Malaysia di Kuala Lumpur, 9-11 Mei 2013. Biaya transportasi dan akomodasi Hibar ditanggung LIPI.
”Itu kesempatan besar, jadi saya berusaha membantu mencarikan uang untuk anak saya menyempurnakan sepatu. Apalagi ini bisa membanggakan negara,” ujar Jamaluddin.
Jamaluddin yang sehari-hari bertugas di Pusat Pendidikan Zeni TNI Angkatan Darat di Bogor dengan pangkat kopral kepala itu mengaku meminjam uang Rp 2 juta dari mertuanya. Keluarga Kopral Kepala Jamaluddin hidup sederhana. Sebagai prajurit, ia mendapat gaji berikut berbagai tunjangan, termasuk beras dan lauk-pauk maksimal Rp 3,5 juta per bulan. Ia harus menghidupi istri dan dua anak. Karena itu, seusai waktu dinas, Jamaluddin juga menyambi menawarkan jasa ojek di Baranangsiang, Kota Bogor. Ia bisa mendapat tambahan Rp 10.000-Rp 50.000 dari menawarkan jasa ojek selama 4-5 jam.
”Saya sudah mengirim proposal minta bantuan ke Wali Kota Bogor, tetapi hingga anak saya pulang, tidak ada tanggapan. Saya hanya bisa mengelus dada,” kata Jamaluddin. Namun, ia juga bersyukur ada orang- orang yang peduli, lalu membantu. Termasuk ada yang sebulan terakhir membiayai anaknya kursus bahasa Inggris.
Produksi massal
Pengorbanan sang ayah tidak sia- sia. Di Malaysia, karya Hibar mendapat pengakuan. Sepatu anti-kekerasan seksual itu meraih medali emas untuk kategori safety and health. Karyanya pun semakin baik.
Beberapa kesalahan pada karya pertama, seperti potensi hubungan arus pendek listrik, serta bentuk yang kurang menarik sudah diatasi. Sepatu kedua didesain kedap air.
”Tetapi, saya agak sedih juga saat pameran ada mahasiswa Malaysia yang bertanya terlalu dalam soal fisika. Saya belum bisa jawab. Malah dia bilang saya bodoh. Katanya, orang Indonesia enggak ada apa-apanya dibanding orang Malaysia,” ujarnya. ”Tapi saya diamkan saja. Kalau saya tanggapi, artinya saya sama saja dengan dia,” lanjutnya.
Ia mengaku masih ingin menyempurnakan karyanya itu, mematenkannya, lalu memproduksinya secara massal. Dengan begitu, hal itu bisa membantu mengurangi tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan di Jabodetabek, bahkan di Indonesia.
Dia berharap ada pengusaha swasta yang tertarik memproduksi sepatu tersebut. Dengan produksi massal, biaya bisa ditekan dan sol sepatu bisa dibuat lebih tipis.
”Sudah ada dua orang yang tertarik, tetapi masih belum ada pembicaraan lebih lanjut. Kami sudah berkonsultasi dengan instansi terkait di Pemerintah Kota Bogor, tetapi mungkin belum ada kesempatan,” kata Wakil Kepala SMPN 1 Kota Bogor Budiman Budi Wibowo.
• Lahir: Bogor, 26 Desember 1998
• Ayah: Kopral Kepala Jamaluddin (46)
• Ibu: Sri Hendrayanti (42)
• Pendidikan: Siswa kelas II/VIII SMPN 1 Kota Bogor
• Prestasi:
- Finalis National Young Inventor Awards 2012 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
- Medali emas pada International Invention, Innovation, and Technology Exhibition 2013 oleh Ministry of Science, Technology, and Innovation Malaysia.
0 komentar:
Posting Komentar