PT LEN, Industri Pertahanan RI yang Kurang Dikenal (1)

http://1.bp.blogspot.com/-2Rz5whDCaqY/UXNyfjCffxI/AAAAAAAAAYM/pbNioeG62tI/s1600/compact_len_industri-logo.jpg65 tahun Indonesia merdeka, tentunya bangsa ini sudah melewati berbagai pengalaman, termasuk dalam mengembangkan industri pertahanan, untuk memenuhi kebutuhan akan peralatan militer bagi TNI.

Jika sebelumnya perang selalu diartikan dengan mengangkat senjata konvensional yang membutuhkan peralatan seperti senapan serbu dan alat angkut personel, seperti pesawat dan panser. Kini perang telah berkembang menjadi sebuah perang yang tidak hanya membutuhkan senjata, melainkan perang elektronik.

Indonesia sebagai negara yang pernah di jajah Belanda sebenarnya beruntung, karena mampu membangun industri strategisnya dari sisa-sisa penjajahan. Bahkan dari sisa-sia peninggalan tersebut, kini Indonesia sudah mampu mengembangkan industri pertahanan sampai ke bidang elektronik yang diserahkan kepada PT. LEN Industri (Persero).

Tetapi walau sudah berumur cukup lama, entah mengapa nama BUMN Strategis satu ini seakan tenggelam, jika dibandingkan dengan PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI) dan PT. Pindad (Pindad).

Kepada INTELIJEN, pengamat pertahanan dari Universitas Padjajaran, Muradi, mengatakan, secara prinsip sebenarnya LEN bukan menjadi lembaga yang dapat menerjemahkan tantangan zaman, karena situasi di lembaga itu sudah menjadi beban, seperti PT. Dirgantara Indonesia dan lainnya.

Karena situasi di dalam lembaga tersebut juga bukan situasi yang secara normal bisa diharapkan. Apalagi political willnya tidak memberikan kenyamanan bagi pelaku industri pertahanan. Oleh sebab itu, banyak sumber daya manusia menyeberang ke luar negeri.

Sejarah

PT. LEN Industri (Persero), didirikan sejak 1965 dengan nama Lembaga Elektronik Nasional yang kemudian disingkat menjadi LEN. Seiring dengan berjalannya waktu, LEN kemudian bertransformasi menjadi sebuah BUMN pada 1991.

Sejak berubah menjadi BUMN, LEN tidak lagi menjadi kepanjangan dari Lembaga Elektronik Nasional, tetapi telah menjadi entitas bisnis profesional dengan nama PT. LEN Industri yang berada di bawah koordinasi Kementerian Negara BUMN.

Dengan visi menjadi perusahaan elektronika kelas dunia, dan misi meningkatkan kesejahteraan stakeholder melalui inovasi produk elektronika industri dan prasarana. LEN telah mengembangkan bisnis dan berbagai produk dalam bidang elektronika, untuk industri dan prasarana serta telah menunjukan pengalamannya.

Khusus di bidang industri pertahanan, LEN adalah pemain utama dalam industri pengembangan dan aplikasi peralatan elektronika untuk pertahanan di Indonesia saat ini.

BUMNIS ini telah berhasil mengembangkan berbagai peralatan seperti Manpack FH Tranceiver dan Manpack VHF Tranceiver, sebuah peralatan komunikasi radio portable untuk tentara, agar dapat berkomunikasi satu dengan lainnya di medan tempur.

Combat Management System (CMS), yang digunakan kapal TNI Angkatan Laut untuk mengetahui posisi sasaran dengan tepat. CMS didukung oleh pralatan navigasi dan peralatan perang lainnya.

Alkom HF LRT-08H, sebuah alat komunikasi radio portabel untuk tentara, agar dapat berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Menurut informasi yang beredar, Alkom HF LRT-08H ini tidak mudah di kacaukan jaringannya oleh pihak lawan.

Lalu yang terakhir adalah Transpoder TPO TLM-01, sebuah target bergerak bawah air yang digunakan dalam suatu latihan peperangan anti kapal selam.

Selain itu, LEN juga mampu memberikan solusai terhadap kebutuhan pertahanan di Indonesia dengan biaya yang dapat menghemat devisa negara. Hal itu dapat dilakukan karena LEN memiliki tenaga ahli dalam neger untuk pemeliharaan selama masa pengoperasian.

Salah Kebijakan

Jika melihat sejarahnya, LEN telah memiliki banyak pengalaman dalam mengembangkan berbagai peralatan elektronik pertahanan, dan menjadi pemain utama di bidangnya. Tetapi faktanya LEN seakan-akan tersingkir dari kancah industri pertahanan nasional, tenggelam di balik kebesaran nama PT. DI dan Pindad.

Kepada INTELIJEN, Muradi mengatakan, Indonesia tidak memiliki kebijakan yang mendukung. Dahulu harapan itu diserahkan kepada B.J. Habibie, tetapi ahli teknologi pesawat itu datang diwaktu yang salah. Jka dia dalam waktu yang benar, maka Indonesia tidak akan seperti ini. Karena tidak ada presiden pasca Habibie yang memiliki kebijakan untuk membangun industri pertahanan.

Di sisi lain, adanya ketersediaan anggaran. Bicara industri strategis maka akan bicara dana yang tidak terbatas. Ini tidak disanggupi oleh pemerintah.  Ketiga, SDMnya itu harus dirawat, karena frustasi maka banyak SDM yang keluar.

Dari ketiga hal ini, sebagus apapun tanpa ada kebijakan yang berpihak, tanpa ada anggaran dan SDM, maka Indonesia tidak akan menjadi apapun, jauh dari harapan yang dibayangkan.

Dalam konteks kebijakan pertahanan, masih sangat konvensional melihatnya, ancamannya pun masih bersifat konvensional. Sementara dalam buku pertahanan, tertulis akan ada perang non konvensional. Tetapi secara praktek, semua itu tidak dilakukan dalam bentuk konkrit.

Secara kebijakan, Indonesia masih disibukan dengan hal-hal yang bersifat konvensional, artinya masyarakat masih melihat hal yang nyata, itulah yang diterjemahkan oleh pemerintah.

Menurut Muradi, SBY masih disibukan dengan masalah pencitraan. Mungkin niat baik ada, tetapi belum sampai pada tahapan untuk memulai kembali pembangunan industri strategis, baru sebatas omongan saja.


  ● Intelijen  

0 komentar:

Posting Komentar