PT LEN, Gali Potensi di Bidang Komersial (2)
Wimax PT LEN (Alutsista) |
Perubahan taktik peperangan dari perang konvensional menggunakan senjata api, menjadi perang non-konvensional yang mengutamakan perangkat elekronik canggih tidak dapat dihindari. Taktik perangnya pun berubah, tidak lagi harus saling berhadap-hadapan secara langsung dengan musuh, melainkan cukup dengan penginderaan jarak jauh dan mengirimkan pesan singkat kepada markas, apakah ancaman akan ditindaklanjuti atau tidak.
Untuk itulah peralatan elektronik seperti radar dan alat komunikasi menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi keberadaannya, di setiap instansi militer dalam menjalankan operasi militernya. Menurut Direktur Eksekutif Institute of Defense, Securities and Peace Studies (IDSPS), Mufti Makarim, kebutuhan elektronik di kalangan militer mencapai 60 hingga 70 persen dari total perangkat persenjataan. Persenjataan konvensional, baru akan digunakan pada lapisan ketiga atau keempat.
TNI sebagai garda terdepan ketika terdapat ancaman yang membahayakan negara, tentunya memerlukan berbagai peralatan elektronik, baik itu berupa radar atau pun peralatan komunikasi yang mumpuni. Sehingga TNI siap menghadapi peperangan non-konvensional.
LEN sebagai salah satu BUMN Strategis yang berkecimpung dalam industri pertahanan dalam negeri Indonesia, tentunya memiliki peran penting. Sebagai perusahaan negara yang memiliki kemampuan membuat peralatan militer, khususnya peralatan elekronik, LEN terus berupaya mengembangkan serta menciptakan teknologi yang dapat digunakan oleh TNI dalam menghadapi perang non konvensional.
Namun entah mengapa nama LEN tidak juga beranjak ke permukaan. Padahal jika sesuai dengan rencana SBY mengenai program revitalisasi industri pertahanan dalam negeri, LEN seharusnya menjadi bagian dari program tersebut, dan mulai menerima pesanan berupa alat komunikasi militer untuk personel TNI.
Paradigma Konvensional
Untuk itulah peralatan elektronik seperti radar dan alat komunikasi menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi keberadaannya, di setiap instansi militer dalam menjalankan operasi militernya. Menurut Direktur Eksekutif Institute of Defense, Securities and Peace Studies (IDSPS), Mufti Makarim, kebutuhan elektronik di kalangan militer mencapai 60 hingga 70 persen dari total perangkat persenjataan. Persenjataan konvensional, baru akan digunakan pada lapisan ketiga atau keempat.
TNI sebagai garda terdepan ketika terdapat ancaman yang membahayakan negara, tentunya memerlukan berbagai peralatan elektronik, baik itu berupa radar atau pun peralatan komunikasi yang mumpuni. Sehingga TNI siap menghadapi peperangan non-konvensional.
LEN sebagai salah satu BUMN Strategis yang berkecimpung dalam industri pertahanan dalam negeri Indonesia, tentunya memiliki peran penting. Sebagai perusahaan negara yang memiliki kemampuan membuat peralatan militer, khususnya peralatan elekronik, LEN terus berupaya mengembangkan serta menciptakan teknologi yang dapat digunakan oleh TNI dalam menghadapi perang non konvensional.
Namun entah mengapa nama LEN tidak juga beranjak ke permukaan. Padahal jika sesuai dengan rencana SBY mengenai program revitalisasi industri pertahanan dalam negeri, LEN seharusnya menjadi bagian dari program tersebut, dan mulai menerima pesanan berupa alat komunikasi militer untuk personel TNI.
Paradigma Konvensional
Kurang terdengarnya nama LEN di kancah industri pertahanan dalam negeri, tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada BUMNIS ini seluruhnya. Karena perubahan paradigma mengenai peperangan di benak orang Indonesia belum beranjak sepenuhnya dari konsep perang konvensional.
Jika melihat tiga BUMNIS seperti PT. PAL, Pindad dan PT. DI, rata-rata orientasinya lebih kepada pengadaan persenjataan yang bersifat lethal atau mematikan. Maka tidak heran untuk pengembangan elektronik di bidang militer sendiri masih jauh tertinggal.
Padahal jika melihat konteks perang modern, justru mengandalkan segala aspek yang berbau teknologi, mulai dari pengintaian lewat radar, saluran komunikasi juga pemanfaatan teknologi-teknologi untuk mendukung operasi militer di lapangan, yang sifatnya non senjata tetapi memberikan kontribusi signifikan. Disinilah keahlian LEN dibutuhkan.
Selain masih kuatnya paradigma konvensional tentang perang, hal lain yang memperparah adalah adanya pemikiran cupet di kalangan petinggi negeri ini. Banyak yang masih beranggapan bahwa produk dalam negeri selalu terkendala masalah kualitas, harga dan lain sebagainya.
Padahal pengalaman di luar negeri, seperti Siemen, justru menyokong teknologi komunikasi militer Jerman. Hal itu terjadi karena pemerintahnya memberikan dukungan, untuk melakukan berbagai riset, sehingga kualitasnya terus mengalami kemajuan serta ada kepastian bahwa produk dalam negeri akan dibeli pemerintah.
Di Indonesia sendiri, untuk melakukan riset sangat sulit, karena jika tidak ada yang membeli, maka pelaku industri pertahanan akan rugi. Karena riset memerlukan dana besar dan memerlukan jaminan bahwa nantinya investasi dari riset itu bisa diukur, dalam jangka waktu berapa lama akan kembali.
Komersil
Jika melihat tiga BUMNIS seperti PT. PAL, Pindad dan PT. DI, rata-rata orientasinya lebih kepada pengadaan persenjataan yang bersifat lethal atau mematikan. Maka tidak heran untuk pengembangan elektronik di bidang militer sendiri masih jauh tertinggal.
Padahal jika melihat konteks perang modern, justru mengandalkan segala aspek yang berbau teknologi, mulai dari pengintaian lewat radar, saluran komunikasi juga pemanfaatan teknologi-teknologi untuk mendukung operasi militer di lapangan, yang sifatnya non senjata tetapi memberikan kontribusi signifikan. Disinilah keahlian LEN dibutuhkan.
Selain masih kuatnya paradigma konvensional tentang perang, hal lain yang memperparah adalah adanya pemikiran cupet di kalangan petinggi negeri ini. Banyak yang masih beranggapan bahwa produk dalam negeri selalu terkendala masalah kualitas, harga dan lain sebagainya.
Padahal pengalaman di luar negeri, seperti Siemen, justru menyokong teknologi komunikasi militer Jerman. Hal itu terjadi karena pemerintahnya memberikan dukungan, untuk melakukan berbagai riset, sehingga kualitasnya terus mengalami kemajuan serta ada kepastian bahwa produk dalam negeri akan dibeli pemerintah.
Di Indonesia sendiri, untuk melakukan riset sangat sulit, karena jika tidak ada yang membeli, maka pelaku industri pertahanan akan rugi. Karena riset memerlukan dana besar dan memerlukan jaminan bahwa nantinya investasi dari riset itu bisa diukur, dalam jangka waktu berapa lama akan kembali.
Komersil
Seperti kebanyakan pelaku industri pertahanan dalam negeri, nasib serupa juga menimpa LEN. BUMN Strategis asal Bandung ini mengalihkan sektor produksi ke arah produk sipil bukanlah hal yang aneh. Karena untuk terus hidup, LEN harus mencari penghasilan untuk menutup biaya riset dan produksinya.
Mufti Makarim menuturkan, bahwa dahulu industri pertahanan juga pernah diarahkan untuk tidak hanya berorientasi pada produk pertahanan. Tetapi juga memenuhi kebutuhan teknologi di sektor lain, misalnya teknologi pemindaian yang bisa jauh lebih komersil, sehingga tidak membuat pelaku industri ini tidak melulu bergantung kepada pemerintah.
Hal inilah yang kemudian menjadi acuan berbagai BUMNIS seperti PT. DI yang pernah membuat lapisan anti lengket untuk panci, dan kendaraan yang bisa digunakan di gang sempit, gangcar. Semuanya dilakukan demi untuk bertahan hidup.
Walau tidak seekstrim PT. DI yang keluar dari core perusahaan pembuat pesawat terbang. LEN juga mengalami hal yang sama, hanya saja tetap di bidang elektronik, khususnya telekomunikasi.
Di tahun 2009, BUMN Strategis ini yang sudah membuat lima peralatan militer ini mendapatkan kontrak senilai Rp 700 miliar dalam program pengerjaan perangkat lokal untuk WiMax. Sehingga LEN berani menargetkan mendapatkan pendapatan sebesar 800 miliar hingga 900 miliar rupiah, dengan laba sekitar 80 miliar rupiah.
LEN juga pernah diminta SBY untuk mengembangkan kapasitas solar energy yang dimiliki perusahaan yang telah berumur 45 tahun pada 2010 ini.
Walau sibuk dengan kontrak yang diperoleh dari kalangan sipil, LEN tetap tidak lupa perannya sebagai BUMN Strategis penghasil peralatan militer. Ditahun 2009 juga, LEN mendapatkan penghargaan Anugerah Rintisan Teknologi Industri 2009, atas teknologi Manpack Alkom FISCOR-100.
Ditahun yang sama, LEN juga mulai melakukan pemasangan Sensor Weapon and Control (SEWACO) atau Combat Management System (CMS), di kapal Patroli Cepat milik TNI AL.
Program ini adalah tindak lanjut dari kerjasama Kemristek dengan PT. LEN Industri (Persero) semenjak 1998, yang dibuktikan dengan pemasangan sepuluh unit Multi Function Display (MFD) untuk sonar di sepuluh kapal kelas Parchim.
Jika melihat potensi yang ada, seharusnya LEN bisa menjadi pionir dalam hal membuat peralatan elektronik untuk militer. Tinggal menunggu niat baik pemerintah, apakah tetap konsisten menjalankan kebijakannya atau tidak.
Mufti Makarim menuturkan, bahwa dahulu industri pertahanan juga pernah diarahkan untuk tidak hanya berorientasi pada produk pertahanan. Tetapi juga memenuhi kebutuhan teknologi di sektor lain, misalnya teknologi pemindaian yang bisa jauh lebih komersil, sehingga tidak membuat pelaku industri ini tidak melulu bergantung kepada pemerintah.
Hal inilah yang kemudian menjadi acuan berbagai BUMNIS seperti PT. DI yang pernah membuat lapisan anti lengket untuk panci, dan kendaraan yang bisa digunakan di gang sempit, gangcar. Semuanya dilakukan demi untuk bertahan hidup.
Walau tidak seekstrim PT. DI yang keluar dari core perusahaan pembuat pesawat terbang. LEN juga mengalami hal yang sama, hanya saja tetap di bidang elektronik, khususnya telekomunikasi.
Di tahun 2009, BUMN Strategis ini yang sudah membuat lima peralatan militer ini mendapatkan kontrak senilai Rp 700 miliar dalam program pengerjaan perangkat lokal untuk WiMax. Sehingga LEN berani menargetkan mendapatkan pendapatan sebesar 800 miliar hingga 900 miliar rupiah, dengan laba sekitar 80 miliar rupiah.
LEN juga pernah diminta SBY untuk mengembangkan kapasitas solar energy yang dimiliki perusahaan yang telah berumur 45 tahun pada 2010 ini.
Walau sibuk dengan kontrak yang diperoleh dari kalangan sipil, LEN tetap tidak lupa perannya sebagai BUMN Strategis penghasil peralatan militer. Ditahun 2009 juga, LEN mendapatkan penghargaan Anugerah Rintisan Teknologi Industri 2009, atas teknologi Manpack Alkom FISCOR-100.
Ditahun yang sama, LEN juga mulai melakukan pemasangan Sensor Weapon and Control (SEWACO) atau Combat Management System (CMS), di kapal Patroli Cepat milik TNI AL.
Program ini adalah tindak lanjut dari kerjasama Kemristek dengan PT. LEN Industri (Persero) semenjak 1998, yang dibuktikan dengan pemasangan sepuluh unit Multi Function Display (MFD) untuk sonar di sepuluh kapal kelas Parchim.
Jika melihat potensi yang ada, seharusnya LEN bisa menjadi pionir dalam hal membuat peralatan elektronik untuk militer. Tinggal menunggu niat baik pemerintah, apakah tetap konsisten menjalankan kebijakannya atau tidak.
0 komentar:
Posting Komentar