Siswi SMA Pati Bikin Limbah Kapuk Ganti Pestisida
Pati--Tanaman cabai itu, tampak tumbuh subur. Sebelumnya,puluhan kotak lahan tanaman cabai merah tersebut tampak meranggas dan sebagian daunnya rusak termakan jamur dan hama ulat. Untuk menyelamatkan tanaman itu, petani menyemprotkan cairan bio fungisida, pengganti pestisida. Penyemprotan itu dilakukan secara rutin, terutama menjelang panen. Hasilnya memang mengembirakan, tanaman dapat tumbuh subur dan cabainya dapat dipanen. "Saya harus esktra dalam memberikan perawatan," kata Solikhul, petani lombok dari Desa Kayen, Pati, Jawa Tengah, yang sudah hampir setahun meninggalkan pestisida, Kamis 31 Oktober 2013.
Bio fungisida yang dipakai Solikhul merupakan hasil penelitian Apriliani Sofa Marwaningtya pelajar kelas XII jurusan IPA SMA PGRI 2 Kayen, sekitar 20 kilometer dari Kota Pati. Bio fungisida buatan Apriliani mendapat penghargaan Best Project sekaligus juara pertama dari 13 kategori Biologia Celuler e-Mulucular Micro Biologia, yang berlangsung 20-25 Oktober di Brasil. Kompetisi itu diikuti 40 negara di dunia dengan 500 peserta.
Sekitar enam bulan, Apriliani melakukan penelitian. Ia mengambil abu kulit kapuk yang biasa digunakan untuk membakar batu merah dan genteng. Abu kulit kapuk dilembutkan lalu direndam air. Selanjutnya, air diambil untuk disemprotkan pada tanaman yang terserang jamur atau ulat. Dua kilogram abu dapat menghasilkan setengah kilogram bio fungisida cair dan cukup disemprotkan di lahan pertanian seluas seprempat hektare. "Abu kulit kapuk itu dapat diolah menjadi bio fungisida dan berguna untuk tanaman," kata Apriliani.
Selama penelitiannya itu, Apriliani didampingi Muhammad Rouf, guru pembimbingnya. Fungsi bio fungisida hasil olahan abu kulit kapuk, ujar Apriliani, mampu melawan jamur yang kerap menyerang tanaman cabai. Adapun biaya pembuatan bio fungisida berkisar Rp 15-20 ribu. "Bio fungisidi belum banyak ditemukan di pasaran. Jika ada, harganya cukup tinggi, yakni Rp 60 ribu untuk lahan yang luasnya sama-sama seperempat hektare," kata Apriliani. "Bio fungisida dari abu limbah kapuk sangat membantu petani karena dapat menekan biaya."
Darimana mendapatkan limbah kapuk...
Untuk mendapatkan kulit kapuk, kata Apriliani, tidaklah sulit. Kulit kapuk dapat diperoleh di Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, yang sejak 1970-an dikenal sebagai sentra kapuk. Desa Karaban yang berpenduduk sekitar 8.000 jiwa itu, seribu lebih warganya di antaranya pembuat dan pedagang kasur serta pengodol kapuk. Dari jumlah itu, 40 orang tergolong pengusaha besar. Kapuk didatangkan dari luar daerah seperti bagian Pati bagian utara, Jepara, Kudus, Blora, Rembang dan kota- kota di Jawa Timur.
Menurut H. Rasyid (62), pengusaha pengolahan kapuk, satu ton kapuk gelondong kering, setelah diproses menghasilkan dua kuintal kapuk semin kualitas satu. Rasyid mampu berproduksi 1,2 ton per hari. Limbah yang dihasilkan dari sentra kapuk Karaban berkisar 150 ton per bulan. Limbah ini, benar- benar dapat dioptimalkan untuk kepentingan kemajuan pertanian di Pati. "Kegunaannya tidak terbatas untuk tanaman cabai, tapi lebih luas untuk pertanian lain," kata Apriliani. Sebelum Apriliani melakukan penelitian, limbah kapuk baru sebatas digunakan sebagai bahan bakar pembuat batu bata dan genteng.
Hasil penemuan Apriliani sebelumnya pernah menyabet medali perunggu dalam bidang sains terapan pada Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) 2012 yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, pertengahan Oktober tahun alalu. Para dewan juri terdiri dari unsur ITB, IPB, UI dan ITS itu. "Kami selalu memberikan dorongan bagi para siswa untuk berprestasi. Dari hasil keras Apriliani, dia mampu menyabet penghargaan di Brasil," kata Surata, Kepala SMA PGRI 2 Kayen, Kabupaten Pati.
Bio fungisida yang dipakai Solikhul merupakan hasil penelitian Apriliani Sofa Marwaningtya pelajar kelas XII jurusan IPA SMA PGRI 2 Kayen, sekitar 20 kilometer dari Kota Pati. Bio fungisida buatan Apriliani mendapat penghargaan Best Project sekaligus juara pertama dari 13 kategori Biologia Celuler e-Mulucular Micro Biologia, yang berlangsung 20-25 Oktober di Brasil. Kompetisi itu diikuti 40 negara di dunia dengan 500 peserta.
Sekitar enam bulan, Apriliani melakukan penelitian. Ia mengambil abu kulit kapuk yang biasa digunakan untuk membakar batu merah dan genteng. Abu kulit kapuk dilembutkan lalu direndam air. Selanjutnya, air diambil untuk disemprotkan pada tanaman yang terserang jamur atau ulat. Dua kilogram abu dapat menghasilkan setengah kilogram bio fungisida cair dan cukup disemprotkan di lahan pertanian seluas seprempat hektare. "Abu kulit kapuk itu dapat diolah menjadi bio fungisida dan berguna untuk tanaman," kata Apriliani.
Selama penelitiannya itu, Apriliani didampingi Muhammad Rouf, guru pembimbingnya. Fungsi bio fungisida hasil olahan abu kulit kapuk, ujar Apriliani, mampu melawan jamur yang kerap menyerang tanaman cabai. Adapun biaya pembuatan bio fungisida berkisar Rp 15-20 ribu. "Bio fungisidi belum banyak ditemukan di pasaran. Jika ada, harganya cukup tinggi, yakni Rp 60 ribu untuk lahan yang luasnya sama-sama seperempat hektare," kata Apriliani. "Bio fungisida dari abu limbah kapuk sangat membantu petani karena dapat menekan biaya."
Darimana mendapatkan limbah kapuk...
Untuk mendapatkan kulit kapuk, kata Apriliani, tidaklah sulit. Kulit kapuk dapat diperoleh di Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, yang sejak 1970-an dikenal sebagai sentra kapuk. Desa Karaban yang berpenduduk sekitar 8.000 jiwa itu, seribu lebih warganya di antaranya pembuat dan pedagang kasur serta pengodol kapuk. Dari jumlah itu, 40 orang tergolong pengusaha besar. Kapuk didatangkan dari luar daerah seperti bagian Pati bagian utara, Jepara, Kudus, Blora, Rembang dan kota- kota di Jawa Timur.
Menurut H. Rasyid (62), pengusaha pengolahan kapuk, satu ton kapuk gelondong kering, setelah diproses menghasilkan dua kuintal kapuk semin kualitas satu. Rasyid mampu berproduksi 1,2 ton per hari. Limbah yang dihasilkan dari sentra kapuk Karaban berkisar 150 ton per bulan. Limbah ini, benar- benar dapat dioptimalkan untuk kepentingan kemajuan pertanian di Pati. "Kegunaannya tidak terbatas untuk tanaman cabai, tapi lebih luas untuk pertanian lain," kata Apriliani. Sebelum Apriliani melakukan penelitian, limbah kapuk baru sebatas digunakan sebagai bahan bakar pembuat batu bata dan genteng.
Hasil penemuan Apriliani sebelumnya pernah menyabet medali perunggu dalam bidang sains terapan pada Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) 2012 yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, pertengahan Oktober tahun alalu. Para dewan juri terdiri dari unsur ITB, IPB, UI dan ITS itu. "Kami selalu memberikan dorongan bagi para siswa untuk berprestasi. Dari hasil keras Apriliani, dia mampu menyabet penghargaan di Brasil," kata Surata, Kepala SMA PGRI 2 Kayen, Kabupaten Pati.
0 komentar:
Posting Komentar