Penjualan TelkomVision Langgar Kesepakatan
DALAM rapat di DPR, Komisi VI dan pemerintah bersepakat untuk tidak menjual TelkomVision karena masih ada opsi lain untuk menyelematkan perusahaan itu. Tiba-tiba TelkomVision sudah dilego ke Transcorp.
Jakarta - Anggota Komisi VI DPR Hendrawan Supratikno gusar dengan keputusan Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan merestui manajemen PT Telkom (Persero) Tbk. yang menjual anak perusahaanya, TelkomVision, ke PT Transcorp. Dahlan dan manajemen Telkom dianggap telah melanggar kesepakatan.
"Pada rapat dengar pendapat lalu, telah bersepakat untuk tidak ada penjualan TelkomVision. Itu sangat jelas," kata Hendrawan, Selasa (5/11).
"Kenapa mereka melanggar kesepakatan itu?" tanyanya heran.
Hendrawan sudah berkoordinasi dengan Pimpinan Komisi VI untuk membahas penjualan TelkomVision ini dalam rapat seusai reses.
Anggota Komisi I Tantowi Yahya juga menyoroti motif penjualan TelkomVision kepada Transcorp. Terlebih ketika aksi korporasi tersebut dilakukan dengan alasan yang tidak jelas.
"Sebenarnya tidak ada alasan mengapa TelkomVision yang potensial harus dijual ke swasta," tegasnya.
Politisi Partai Golkar ini melihat rancana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. "Pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan yang menggunakan kedekataannya tersebut," ujarnya.
PT Telekom menjual anak usahanya, PT Indonusa Telemedia (TelkomVision) kepada PT Transcorp pada 8 Oktober lalu. Penjualan 1,03 miliar lembar sahan atau setara 80 persen saham TelkomVision itu seharga Rp 926,5 miliar.
Alasan DPR Rekomendasikan TelkomVision Jangan Dijual
Pada umumnya para pelaku industri ini masih optimis dan serius mengelola. Ironisnya, TelkomVision yang sudah berdiri sejak 1997 dan beroperasi pada 1999 malah dijual.
"Pada rapat dengar pendapat lalu, telah bersepakat untuk tidak ada penjualan TelkomVision. Itu sangat jelas," kata Hendrawan, Selasa (5/11).
"Kenapa mereka melanggar kesepakatan itu?" tanyanya heran.
Hendrawan sudah berkoordinasi dengan Pimpinan Komisi VI untuk membahas penjualan TelkomVision ini dalam rapat seusai reses.
Anggota Komisi I Tantowi Yahya juga menyoroti motif penjualan TelkomVision kepada Transcorp. Terlebih ketika aksi korporasi tersebut dilakukan dengan alasan yang tidak jelas.
"Sebenarnya tidak ada alasan mengapa TelkomVision yang potensial harus dijual ke swasta," tegasnya.
Politisi Partai Golkar ini melihat rancana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. "Pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan yang menggunakan kedekataannya tersebut," ujarnya.
PT Telekom menjual anak usahanya, PT Indonusa Telemedia (TelkomVision) kepada PT Transcorp pada 8 Oktober lalu. Penjualan 1,03 miliar lembar sahan atau setara 80 persen saham TelkomVision itu seharga Rp 926,5 miliar.
Alasan DPR Rekomendasikan TelkomVision Jangan Dijual
Prospek televisi berbayar atau televisi berlangganan masih cerah. Itulah sebabnya, DPR menilai, keputusan Meneg BUMN dan direksi Telkom menjual TelkomVision adalah langkah gegabah.
Pada umumnya para pelaku industri ini masih optimis dan serius mengelola. Ironisnya, TelkomVision yang sudah berdiri sejak 1997 dan beroperasi pada 1999 malah dijual.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Erik Satrya Wardhana tak asal bicara ketika menyebut Kementerian Negara BUMN gegabah melego Telkomvision kepada PT Transcorp.
Menurut dia, Komisi VI DPR telah merekomendasikan pembatalan penjualan saham TelkomVision. Alasannya, para legislator tidak bisa menerima alasan bahwa Telkomvision terus merugi. Dalam laporan keuangan sepanjang lima tahun belakangan, TelkomVision memang merugi. Namun kerugian itu menunjukkan tren yang menurun. Artinya, TelkomVision punya prospek cerah dan masih terbuka peluang bisa meraup keuntungan asalkan dikelola lebih baik.
Apalagi pasar televisi berlangganan terus menggemuk belakangan ini. Riset Media Partners Asia (2012) menunjukkan, Indonesia diproyeksikan memiliki pertumbuhan pelanggan TV berlangganan tertinggi di Asia Pasifik, yakni sebesar 26,7 persen hingga 2016 mendatang.
Bandingkan dengan Thailand yang hanya separuhnya sebesar 13,6 persen, China 9,1 persen, India 7 persen, Malaysia 4,6 persen, dan Singapura 4,6 persen. Bahkan sekelas Korea dan Hongkong masing-masing diprediksi hanya tumbuh 3,4 persen dan 1,8 persen.
Jumlah pelanggan TV berlangganan di Indonesia pun diperkirakan akan mencapai 7,7 juta pelanggan pada tahun 2020. Ini berarti bakal tumbuh lebih dari 3 kali lipat dibanding tahun 2012 yang sebanyak 2,44 juta pelanggan.
Melihat pasar nan legit itu, pengelola televisi berlangganan pun terus bertumbuh. Memang, sebagian besar dari mereka sekarang ini masih merugi. Namun pemilik masih terus bertahan dengan harapan akan memetik keuntungan di kemudian hari, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indoneia yang terus membaik.
"Pada umumnya para pelaku industri ini masih optimis dan serius mengelola. Ironisnya, TelkomVision yang sudah berdiri sejak 1997 dan beroperasi pada 1999 malah dijual," kata politisi Hanura ini.
Menurut dia, Komisi VI DPR telah merekomendasikan pembatalan penjualan saham TelkomVision. Alasannya, para legislator tidak bisa menerima alasan bahwa Telkomvision terus merugi. Dalam laporan keuangan sepanjang lima tahun belakangan, TelkomVision memang merugi. Namun kerugian itu menunjukkan tren yang menurun. Artinya, TelkomVision punya prospek cerah dan masih terbuka peluang bisa meraup keuntungan asalkan dikelola lebih baik.
Apalagi pasar televisi berlangganan terus menggemuk belakangan ini. Riset Media Partners Asia (2012) menunjukkan, Indonesia diproyeksikan memiliki pertumbuhan pelanggan TV berlangganan tertinggi di Asia Pasifik, yakni sebesar 26,7 persen hingga 2016 mendatang.
Bandingkan dengan Thailand yang hanya separuhnya sebesar 13,6 persen, China 9,1 persen, India 7 persen, Malaysia 4,6 persen, dan Singapura 4,6 persen. Bahkan sekelas Korea dan Hongkong masing-masing diprediksi hanya tumbuh 3,4 persen dan 1,8 persen.
Jumlah pelanggan TV berlangganan di Indonesia pun diperkirakan akan mencapai 7,7 juta pelanggan pada tahun 2020. Ini berarti bakal tumbuh lebih dari 3 kali lipat dibanding tahun 2012 yang sebanyak 2,44 juta pelanggan.
Melihat pasar nan legit itu, pengelola televisi berlangganan pun terus bertumbuh. Memang, sebagian besar dari mereka sekarang ini masih merugi. Namun pemilik masih terus bertahan dengan harapan akan memetik keuntungan di kemudian hari, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indoneia yang terus membaik.
"Pada umumnya para pelaku industri ini masih optimis dan serius mengelola. Ironisnya, TelkomVision yang sudah berdiri sejak 1997 dan beroperasi pada 1999 malah dijual," kata politisi Hanura ini.
0 komentar:
Posting Komentar