Indonesia, Mesin Pertumbuhan Bisnis Angkutan Udara

Wajah Rusdi Kirana tampak cerah. Senyum tersungging di bibirnya, seiring langkahnya menuruni tangga pesawat sesaat setelah mendarat di Blagnac International Airport, Toulouse, Prancis, Senin (18/3) lalu.

Dari tangga pesawat, di kejauhan tampak pesawat Airbus A320 terparkir. Di badan pesawat tulisan “Lion, Thank You” tampak mencolok tertulis dengan warna oranye. Di bawah pesawat, tak kurang 200 orang berkaus biru bertuliskan “Airbus A320 Team” berjajar rapi sembari bertepuk tangan.

Mereka adalah karyawan Airbus yang menyambut kedatangan Rusdi bersama jajaran petinggi Airbus. Rusdi pun menghampiri pasukan biru tersebut dan menyalaminya.

Itulah sambutan yang diberikan Airbus, produsen pesawat terkemuka di Eropa, terhadap CEO Lion Air Rusdi Kirana beserta rombongan, di markas Airbus, Toulouse. Sebelumnya, pada pagi harinya, Rusdi dan CEO Airbus Fabrice Bregier meneken kontrak pemesanan 234 pesawat Airbus oleh Lion Air.

Penandatanganan tersebut disaksikan langsung Presiden Prancis Francois Hollande, di Istana Presiden Elysee, Paris.

Kontrak pemesanan senilai US$ 24 miliar atau sekitar Rp 288 triliun tersebut terdiri dari 109 unit pesawat A320Neo, 65 unit A321Neo, dan 60 unit A320Ceo. Aksi korporat yang dilakukan Lion Air tersebut, bagi Airbus, merupakan kontrak tunggal terbesar yang pernah diperoleh.

Bagi Prancis, kontrak tersebut sangat membantu perekonomian mereka yang dibayangi dampak krisis ekonomi Eropa. Sebab, kontrak Lion Air telah mengamankan 5.000 pekerja di Prancis selama 10 tahun ke depan.

Hal tersebut diakui sendiri oleh Hollande, di tengah tekanan PHK di banyak perusahaan Prancis, dan meroketnya angka pengangguran hingga di atas 10 persen. Tak berlebihan jika dia bersedia menjadi saksi mata penandatanganan kontrak oleh Lion dan Airbus.

“Kerja sama ini sangat membanggakan, tidak hanya bagi Prancis, tetapi juga bagi Eropa. Airbus merupakan kebanggaan Prancis dan Eropa, sebagai salah satu pilar ekonomi kami,” tandas Hollande.

Dalam sambutannya, Hollande tak lupa menyinggung bahwa megakontrak Lion Air mencerminkan kinerja ekonomi Indonesia saat ini, terutama ditopang pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6 persen selama satu dekade terakhir.

Kontrak tersebut menempatkan Lion Air dalam daftar klien Airbus. Selain Lion Air, beberapa maskapai penerbangan asal Indonesia yang juga menggunakan Airbus, antara lain Garuda Indonesia yang telah mengoperasikan 15 tipe A330. Garuda juga memesan 25 unit A320 sebagai tulang punggung Citilink.

Pesawat tipe A320 juga digunakan maskapai Mandala Airlines, dan AirAsia Indonesia.

Sebelum meneken kontrak pembelian dengan Airbus, Lion Air membuat gebrakan melalui kontrak pemesanan 230 pesawat Boeing tipe B737 MAX dan B737-900ER, senilai US$ 22 miliar, atau sekitar Rp 210 triliun. Penandatanganan kontrak oleh Rusdi Kirana dan pihak Boeing disaksikan langsung Presiden AS Barack Obama, di Bali, pada November 2011.

Terkait pembelian 234 pesawat Airbus, Rusdi menuturkan pembiayaannya berasal dari lembaga kredit ekspor (Export Credit Agency/ECA) tiga negara, yakni Prancis, Inggris, dan Jerman. Pinjaman dari tiga negara tersebut mencapai 85 persen. Sisanya, berasal dari sindikasi. Dengan demikian, hampir seluruh sumber dana berasal dari pinjaman.

Hal tersebut, bagi Rusdi menunjukkan maskapainya dipercaya produsen pesawat kelas dunia. “Ini modal kepercayaan, mereka tentunya melihat track record kami,” jelasnya.

Keseluruhan kontrak pembelian tersebut direncanakan tuntas pada 2026. Tahun depan, ditargetkan empat unit sudah bisa diterima, dan akan dioperasikan untuk dua maskapai baru yang akan dibentuk Lion Air di luar negeri. “Dua maskapai baru itu ada di negara di Asia Pasifik,” tutur Rusdi.

Dia menyebut Thailand, Vietnam, dan Myanmar, sebagai negara yang potensial untuk dijajaki.

Dengan kontrak tersebut, sejak berdiri pada tahun 2000 hingga sekarang, Lion telah memesan 727 unit pesawat. Saat ini, sekitar 100 pesawat yang dioperasikan. Maskapai itu menargetkan memesan hingga 1.000 unit pesawat tahun 2027.

“Tentu tidak semua mengudara, karena pemesanan ini juga untuk mengganti pesawat yang sudah tua,” jelasnya.

Rusdi mengakui, aksi korporat yang dilakoni Lion Air, semata-mata untuk merespons tingginya pertumbuhan di pasar angkutan udara, baik di dalam negeri, maupun di Asia Pasifik. “Terutama mengantisipasi era open sky policy ASEAN pada 2015,” katanya.

Hal itu telah dibuktikannya melalui maskapai Malindo Airways yang berbasis di Malaysia. Pada Jumat (22/3) lalu, Malindo resmi mengudara dengan rute Kuala Lumpur-Kinabalu. Tahun ini, ditargetkan sejumlah destinasi baru akan dilayani, seperti New Delhi, Dhaka, Kanton, Senzhen, dan Hong Kong.

Tak hanya itu, jika saat ini Lion fokus pada layanan penerbangan berbiaya murah (low cost carrier/LCC), bulan depan mulai merambah jasa penerbangan full service, melalui maskapai baru, Batik Air. Maskapai ini akan memasuki pasar yang selama ini dikuasai Garuda Indonesia.

Demi semua itu, Lion berusaha memperkuat armadanya dengan menambah pesawat baru. “Bisnis angkutan udara, mau tak mau kita berbicara tentang teknologi yang terbaru, sehingga perawatan pesawat lebih murah, bahan bakar lebih efisien, sehingga bisa melayani pasar dengan lebih baik,” paparnya.

Dominasi Asia Pasifik

CEO Lion Air, Rusdi Kirana (tengah) disambut ratusan karyawan Airbus dengan latar model pesawat A320 Lion Air, di Blagnac International Airport, Toulouse, Prancis.
Potensi pertumbuhan pasar angkutan udara di Asia Pasifik, khususnya Indonesia, juga disadari Airbus.

Menurut Chief Operating Officer Customer Airbus John Leahy, pertumbuhan pasar jasa angkutan penumpang udara di Asia Pasifik lebih tinggi dibanding rata-rata dunia.

“Jika pertumbuhan pasar penerbangan di dunia mencapai dua kali lipat setiap 15 tahun, di Asia Pasifik, pertumbuhan sebesar itu terjadi setiap 10 tahun,” jelasnya.

Airbus mencatat dalam 20 tahun terakhir telah memenuhi permintaan hampir 10.000, tepatnya 9.800 pesawat baru untuk maskapai-maskapai di Asia Pasifik. Nilai keseluruhan kontrak pembelian mencapai US$ 1,6 triliun.

Saat ini, Leahy mengakui, Airbus mencatat order backlog (kekurangan pemenuhan permintaan) mencapai 4.998 pesawat. Jumlah backlog terbesar tercatat untuk kawasan Asia Pasifik, yakni mencapai 1.849 unit, atau 35 persen dari keseluruhan backlog.

Bagi Airbus, Asia Pasifik merupakan pasar utama. Sebab, kawasan ini mewakili 31 persen dari seluruh pesanan yang diterima Airbus.

“Kenyataan tersebut antara lain ditopang pertumbuhan bisnis LCC yang tumbuh 7 persen per tahun,” jelasnya.

Hingga saat ini, lebih dari 2.100 pesawat Airbus telah mengudara yang dioperasikan 97 maskapai di Asia Pasifik. Di luar itu, sekitar 1.800 sudah terjalin kontrak pemesanan.

Dalam 20 tahun ke depan, Airbus memperkirakan pasar global bakal membutuhkan 28.200 pesawat penumpang dan kargo, dengan nilai lebih dari US$ 4 triliun.

Leahy yakin, pesanan bertubi-tubi dari banyak maskapai di seluruh penjuru dunia tidak akan membuat over supply. Sebab, memproduksi pesawat tidak sama dengan memproduksi mobil. “Memproduksi pesawat selalu didasarkan pada pertumbuhan pasar,” jelas Leahy.

RI Kunci Pertumbuhan

Menyangkut Indonesia, Leahy menilainya sebagai salah satu kunci pertumbuhan pasar angkutan udara. Faktornya, Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih 240 juta orang, atau keempat terbesar di dunia, dengan wilayah geografis berupa kepulauan.

“Dengan populasi sebanyak itu, baru 10 persen penduduk Indonesia yang bepergian dengan pesawat komersial. Tentu ini peluang pasar yang sangat besar,” jelasnya.

Meski rasio penduduk yang bepergian dengan pesawat relatif kecil, namun Indonesia diperkirakan mencatat pertumbuhan penumpang udara rata-rata 6,4 persen per tahun selama satu dekade mendatang. “Hal ini dimungkinkan secara ekonomi melalui pertumbuhan PDB lebih 6 persen per tahun dalam tahun-tahun ke depan,” jelasnya.

Secara khusus, Leahy menekankan kehadiran Lion Air sebagai pemain kunci dalam bisnis angkutan udara di Indonesia, bahkan Asia. Selama 12 tahun beroperasi, Lion menjelma menjadi maskapai yang diperhitungkan, setidaknya di kawasan Asia Tenggara, melalui pengembangan jaringan rutenya.

Hal itu tercermin dari pertumbuhan penumpang yang cukup mengesankan dalam lima tahun terakhir, berturut-turut 6,8 juta orang (2007), 9,7 juta (2008), 13,8 juta (2009), 20,5 juta (2010), dan 25,9 juta (2011).

Rusdi Kirana juga mengakui, bisnis angkutan udara di Tanah Air tumbuh pesat. Menurutnya, pencapaian itu terutama ditopang pertumbuhan kelas menengah. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan penumpang pesawat udara tiga kali lipat di atas pertumbuhan ekonomi.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), penumpang pesawat tumbuh dari 43,6 juta pada 2009, menjadi 79 juta orang pada 2012. “Pertumbuhan rata-rata tahunan mencapai 22 persen,” ungkapnya.

Dia memperkirakan, dengan gambaran tersebut dalam sepuluh tahun ke depan, Indonesia membutuhkan sedikitnya 500 tambahan pesawat.


0 komentar:

Posting Komentar