Gebrakan “Gila” Lion Air
Dengan 600 pesawat Boeing dan Airbus, Lion Air jadi 10 besar dunia
Lion Air tampaknya segera menjadi “singa” sesungguhnya di udara. Di Istana Elysee Paris, Prancis, Senin pekan lalu, Rusdi Kirana, bos maskapai udara berlogo singa itu tersenyum lebar. Dia berjalan gagah mengapit Presiden Prancis Francois Hollande, bersama Presiden dan CEO Airbus, Fabrice Bregier. Satu kontrak besar, dan juga memukau, baru saja diteken.
Lion memesan sekitar 234 pesawat pesawat Airbus jenis A320. Ada 109 pesawat A320neo, 65 pesawat A321neo, dan 60 pesawat A320ceo. Tak disebutkan berapa detil transaksi itu. Sumber yang mengetahui transaksi menyebutkan, satu unit pesawat diperkirakan senilai US$ 100 juta. Lion memesan 234 pesawat. Jadi, nilainya mencapai US$ 23,4 miliar, atau hampir Rp 225 triliun.
Presiden Prancis, Francois Hollande pun sumringah. Kontrak itu bak angin segar bagi Prancis, negeri Eropa yang sedang diterpa krisis ekonomi. Kesepakatan bisnis itu, kata Hollande, adalah kontrak bersejarah antara perusahaan Eropa dengan rekanan bisnis di Asia. Ini juga kontrak paling besar dalam sejarah pembuatan pesawat sipil Airbus.
Transaksi Lion Air ini akan memberi berkah Airbus sekitar 5.000 pekerjaan selama 10 tahun. "Ini adalah angka mengesankan bagi industri Eropa, dan juga membuktikan vitalitas industri Indonesia," ujar Hollande seperti dilansir laman Leparisien, Selasa 19 Maret 2013.
Tentu saja yang bersorak riang adalah para karyawan Airbus di Toulouse, Prancis. Mereka kembali bergairah. "Ini adalah berita sangat baik untuk Airbus, dan semua karyawan," kata Jean-Francois Knepper, salah satu karyawan Airbus.
Tapi meski kontrak itu super mahal, kata Rusdi Kirana, Lion Air Group tak perlu keluar uang sepeser pun untuk pembelian spektakuler A320 itu. Semuanya ditalangi oleh Export Credit Agency (ECA) dari Prancis, Jerman dan Inggris.
Airbus pun tak takut pembayaran kredit pesawat akan tersendat. Lion, kata Airbus, adalah salah satu maskapai yang lagi moncer di kawasan Asia Tenggara. "Kami percaya diri, Lion Air tak akan terkena masalah finansial karena punya track record yang baik dalam pembiayaan pesawat," kata juru bicara Airbus lewat wawancara surat elektronik kepada VIVAnews.
Dengan transaksi itu, Lion Air menjadi pelanggan baru Airbus, setelah sebelumnya maskapai itu membeli 230 pesawat dari pabrik Boeing, Amerika Serikat, satu setengah tahun lalu.
Langkah Lion Air itu pun dicatat dunia. Centre for Asia Pacific Aviation melansir aksi borong pesawat Boeing dan Airbus ini membuatnya masuk dalam 10 besar maskapai penerbangan dengan armada terbanyak di dunia. Dengan pemesanan dari dua produsen pesawat dunia itu, ditambah armada yang sudah ada, Lion Air Group akan memiliki 600 pesawat pada 2025 mendatang.
“Lion Air ada pemikiran untuk ekspansi ke kawasan Asia Pasifik dengan membuat perusahaan baru di Thailand, Vietnam dan Australia, mengikuti model Malindo Airways di Malaysia,” kata pengamat penerbangan Dudi Sudibyo kepada VIVAnews.
Langkah “gila”
Dua tahun silam, gebrakan Lion itu membuat terhenyak dunia penerbangan Indonesia. Sebanyak 230 unit pesawat Boeing berbagai jenis, dengan transaksi sekitar US$14 miliar, dibeli Lion Air pada 2011.
Ini adalah kelanjutan kerjasama Lion dengan pabrik pesawat terkemuka Boeing, untuk pembelian 30 pesawat 737-900 ER, yang dipesan maskapai itu sejak 2005. Dikirim bertahap, armada pertama tiba pada 2007 silam. Langkah itu membuat Lion menjadi maskapai pertama di dunia yang memakai Boeing 737-900ER.
Jurus “gila” Lion Air membeli Boeing itu juga sempat membuat geger. Kontrak senilai US$ 14 miliar itu diteken Lion Air-Boeing di Grand Hyatt, Bali. Presiden Amerika Serikat Barack Obama hadir di acara penekenan itu, bertepatan lawatan dia ke Bali untuk acara KTT ASEAN dan KTT terkait.
Kerja sama itu tercatat sebagai kesepakatan bisnis terbesar yang pernah dilakukan Boeing. Sebelumnya, rekor dibukukan oleh maskapai Emirates Airlines yang meneken perjanjian kerja senilai US$18 miliar, atau setara Rp 161,28 triliun untuk memasok sekitar 50 pesawat.
Bagi Obama, kerjasama ini adalah contoh investasi perdagangan, dan peluang komersial di Asia Pasifik. Kontrak itu didukung pemerintah Amerika dan Ex-Im Bank, bank ekspor AS yang mengucurkan kredit kepada Lion Air.
Bagi AS, kontrak itu membantu mendongkrak perdagangan mereka yang lagi lesu diterpa krisis ekonomi. Diharapkan transaksi itu bisa membantu menggenjot nilai ekspor AS, dan memberikan pekerjaan bagi sekitar 100 ribu warga Amerika Serikat.
Pujian Barack Obama pun mendarat di Lion Air sebagai “maskapai penerbangan dengan pertumbuhan tercepat di dunia”.
Pasar yang “gila”
Lion Air sepertinya pintar membaca peluang pasar yang menggiurkan. Pertumbuhan jumlah penumpang pesawat di Indonesia memang “gila”. Pada 2008 penumpang pesawat ada sekitar 41 juta orang. Lalu pada 2012, meningkat menjadi 72,4 juta penumpang. Itu terdiri dari 63,6 juta penumpang domestik, dan 8,8 juta penumpang internasional.
Pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo, menilai naiknya jumlah kelas menengah menjadi penyebab utama melonjaknya penumpang pesawat. Untuk efisiensi waktu perjalanan, mereka lebih suka memilih moda transportasi udara.
Itu sebabnya, industri penerbangan di Indonesia dengan cepat melangit di Asia. Hampir 50 persen pangsa pasar penerbangan Asean ada di Indonesia. Keadaan ini berbeda di Amerika Serikat dan Eropa, yang pasarnya lagi lesu. Bahkan, maskapai berbiaya murah terbesar di Asia, AirAsia, menilai Indonesia adalah salah satu tambang emas.
Hal inilah yang dilirik oleh para produsen pesawat dunia, dari Airbus, Boeing hingga Sukhoi yang juga dikenal dengan produsen pesawat tempur. Mereka mulai jor-joran menawarkan pesawat komersialnya di Indonesia. “Indonesia akan menjadi salah satu kunci utama pertumbuhan perjalanan udara di Asia Pasifik," ujar juru bicara Airbus.
Tiap tahun, Airbus menghitung, sedikitnya ada 6,4 persen pertumbuhan penumpang, dan itu akan berlangsung selama 10 tahun ke depan. Akibatnya, permintaan armada pesawat meningkat, baik untuk low cost carrier, ataupun maskapai dengan pelayanan penuh.
Dihantui krisis?
Sejumlah maskapai pun tak mau ketinggalan momen. Misalnya, maskapai flag carrier, Garuda Indonesia, yang meluncurkan program Quantum Leap 2011-2015. Garuda menerapkan tujuh strategi. Salah satunya, meremajakan armada dengan usia maksimal pesawat 6 tahun pada 2015.
Pada 2015 mendatang, jumlah armada Garuda Indonesia akan tembus 194 unit.
Seperti AirAsia, maskapai plat merah ini pun meneken kontrak pembelian 11 pesawat Airbus A330-300 disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Inggris David Cameron di Istana Negara April 2012 silam.
PT Citilink Indonesia, anak perusahaan PT Garuda Indonesia Tbk yang bergerak di bidang penerbangan murah, menggelontorkan investasi hingga US$ 1 miliar, atau setara Rp 9,6 triliun (kurs Rp 9.500) untuk memborong 25 pesawat Airbus 320Neo.
Maskapai penerbangan murah lainnya, Mandala Airlines, telah memesan 25 pesawat A320 yang akan tiba hingga 2015 mendatang. Per awal Maret 2013 telah mengoperasikan 7 unit A320. Mandala berencana ekspansi besar-besaran dengan membuka berbagai rute baru.
Selain dikuasai oleh Airbus dan Boeing, industri penerbangan Indonesia akan diramaikan oleh hadirnya pesawat Sukhoi Super Jet-100. Meski masih dihantui oleh jatuhnya satu pesawat SSJ-100 di Gunung Salak pada Mei 2012, tapi dua maskapai Indonesia, Sky Aviation dan Kartika Airlines, tetap akan membeli pesawat itu.
Sky Aviation, misalnya, merogoh saku hingga US$ 380,4 juta untuk memborong 12 pesawat SSJ-100. Kontrak pembelian dilaksanakan di Internasional Aviation and Space Salon MAKS 2011 di Zhukovsky, Rusia, Agustus 2011 lalu. Satu pesawat telah hadir pada akhir Februari lalu, dan mulai terbang pada 10 Maret 2013 di kawasan timur Indonesia.
Kartika Airlines juga akan menerbangkan Sukhoi Superjet 100 pada pertengahan 2013 mendatang. Sejumlah 15 pesawat SSJ 100 dipesan Kartika, dan ada opsi penambahan 15 pesawat lagi. Kartika Airlines yang sempat padam sejak Juni 2010 tampaknya akan menggeliat kembali dengan Sukhoi.
Gerak maskapai yang bertumbuh itu, kata Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bhakti, adalah reaksi wajar dari permintaan pasar. Maskapai Indonesia, kata dia, sudah saatnya masuk ke kancah persaingan global. Pembelian ratusan pesawat baru adalah dalam rangka persiapan itu.
Meski begitu, pemerintah terus mengkaji persiapan para operator pesawat. Setidaknya, jangan sampai mereka tak sempat terbang tinggi, karena pailit dililit utang. "Kita akan evaluasi rencana bisnis para maskapai dari segi personil, manajemen dan lain-lain serta kesiapan bandara Indonesia," kata Herry kepada VIVAnews.
Namun, dibalik gurihnya industri penerbangan itu, krisis ekonomi global masih tetap menjadi awan hitam. Utang besar di balik pembelian pesawat, dan kompetisi ketat dapat menjadi badai berat bagi maskapai.
Tengok pengalaman Batavia Air, pailit karena gagal bayar utang sewa pesawat A330, yang mereka pesan untuk penerbangan haji. “Pasar bisa saja meredup jika krisis ekonomi dunia kembali menguat,” kata pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo.(np)
Berebut Kelas Menengah di Langit Nusantara
Persaingan mengerucut pada 3 besar, AirAsia, Lion Air, dan Citilink.
Beberapa tahun belakangan ini, masyarakat makin menggemari transportasi udara sebagai prioritas utama mereka dalam melakukan perjalanan. Harga tiket yang murah dan kecepatan waktu tempuh perjalanan memang nyaris tak tertandingi dibandingkan dengan moda transportasi yang lain.
Dengan harga yang relatif sama dibandingkan perjalanan darat, pesawat memberi nilai lebih, terutama pada kecepatan. Bayangkan saja, tiket kereta Argo Bromo Jakarta Surabaya saat ini dipatok Rp 450 ribu, jauh lebih mahal dibandingkan harga penerbangan AirAsia yang hanya Rp 269 ribu sekali jalan. Naik kereta setidaknya butuh waktu semalam, sedangkan pesawat satu jam, ditambah waktu tunggu dan lain, tak lebih dari empat jam.
Murah dan cepat inilah yang membuat penumpang pesawat membludak. Lihat saja, Bandara Soekarno-Hatta yang kapasitasnya hanya 22 juta penumpang per tahun, saat ini dipaksa harus melayani 52 juta penumpang.
Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan pernah menyatakan, pertumbuhan penumpang pesawat Indonesia tiap tahun sekitar 17 persen. Pertumbuhan tertinggi justru disokong oleh penumpang pesawat berbiaya rendah (low cost carrier/LCC), yaitu mencapai 14 persen. Sedangkan sisanya, 3 persen penambahan itu merupakan penumpang kelas layanan penuh atau kerap disebut legacy.
Tingginya penumpang penerbangan berbiaya rendah juga pernah disampaikan lembaga riset Frost & Sullivan. Lembaga tersebut menyatakan pertumbuhan pasar penerbangan rendah biaya Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, mencapai 16,9 persen dengan jumlah penumpang 116 juta pada 2008 menjadi 217 juta pada 2012. Angka yang sangat tinggi dan sangat menggiurkan bagi pengusaha kakap.
Penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta dengan demografi kepulauan menjadi peluang besar bagi industri penerbangan Tanah Air. Namun, Frost & Sullivan dalam laporannya menyatakan, faktor yang paling mendorong peningkatan penumpang penerbangan rendah biaya adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Naiknya pendapatan masyarakat, seiring membaiknya pertumbuhan ekonomi, membuat permintaan layanan penerbangan juga naik.
Pengamat industri penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan, industri penerbangan Indonesia akan terus tumbuh dalam beberapa tahun ke depan. “Tumbuhnya kelas menengah akan membuat orang membutuhkan moda transportasi pesawat,” kata dia kepada VIVAnews.
Hitung saja, kelas menengah Indonesia versi Boston Consulting Group (BCG) sudah mencapai 74 juta orang. Angka ini akan meningkat menjadi 141 juta orang pada 2020. Mereka inilah yang sasaran empuk industri penerbangan nasional. Penduduk dengan belanja rata-rata sebesar US$ 200 atau Rp 1,9 juta per bulan biasanya sudah memiliki keinginan naik pesawat, meski hanya terbang, tanpa layanan lain.
Tak cuma penerbangan murah, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan juga akan mengangkat tumbuhnya orang kaya. Pada saat itu, penerbangan layanan penuh juga akan tumbuh cepat. “Mereka tak mau terbang Jakarta-Makassar hanya mendapat air minum,” kata Dudi.
Pemilik Mandala Airlines, Sandiaga S. Uno, mengatakan, pasar penerbangan murah Indonesia masih sangat cerah. Karena kelas menengah yang tumbuh pesat membutuhkan solusi transportasi murah, berkualitas, dan nyaman serta aman. “Jadi sangat menjanjikan,” kata pendiri PT. Saratoga Investama Sedaya ini.
Dari sisi industri, murahnya akses internet juga berperan penting dalam pertumbuhan pesawat berbiaya rendah ini. Internet merupakan cara mudah dan murah untuk menyalurkan distribusi tiket. Terakhir, tentu saja, dengan tingginya tingkat isian atau load factor pesawat, keuntungan maskapai penerbangan akan meningkat, sehingga pasar pun terus berkembang.
Meski demikian, bukan berarti bisnis penerbangan tak ada kendala. Tingginya harga bahan bakar, bisa berdampak buruk pada industri ini. Apalagi bisnis penerbangan rendah biaya menghabiskan 40 persen pendapatannya untuk belanja bahan bakar.
Selain harga minyak, kurangnya infrastruktur bandara juga berpengaruh bagi maskapai rendah biaya. Biasanya, maskapai rendah biaya tidak beroperasi di bandara utama, sehingga biaya ground handling-nya lebih mahal.
Lirik AirAsia
Bisnis penerbangan rendah biaya tak lepas dari AirAsia, maskapai asal Malaysia yang kini sudah merajai Asia Tenggara. AirAsia memulai bisnisnya pada akhir 2001 ketika bos perusahaan musik Tony Fernandes membeli perusahaan itu dari DRB-HICOM Bhd senilai 1 ringgit Malaysia.
Dari perusahaan bangkrut, Fernandes mengubah AirAsia menjadi perusahaan yang bisa menghasilkan keuntungan pada 2002. Tak mungkin bisa mengubah AirAsia jika Fernandes tak memiliki strategi khusus. Ia memutuskan menurunkan harga tiket serendah-rendahnya agar bisa lebih banyak menjaring konsumen kelas bawah.
Seperti pada penerbangan rendah biaya umumnya, AirAsia menggunakan tipe pesawat yang hampir serupa untuk menurunkan biaya perawatan, suku cadang, dan awak pesawat. AirAsia juga menerapkan sistem transit agar bisa mendapat penumpang lebih banyak.
AirAsia juga berhasil mengubah cara masyarakat melakukan pembelian tiket. Sebab, sekitar 80 persen transaksi pembelian tiket dan check-in AirAsia langsung menggunakan situs resminya. Cara ini menambah keuntungan karena biaya pendistribusian tiket bisa ditekan.
Kini, Fernandes telah berhasil mengembangkan AirAsia ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Perusahaannya pun terus membesar dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai 7,9 miliar ringgit atau sekitar Rp 24,7 triliun.
Berkaca dari pengalaman itu, sejumlah penerbangan nasional pun melirik pasar ini. Lion memborong ratusan pesawat ke Boeing dan Airbus untuk mempersiapkan penerbangan murah miliknya. Garuda yang sudah lama melenggang di pasar kelas atas mendadak membentuk Citilink. Mandala yang membuka kembali setelah bangkrut juga memilih pasar ini.
CEO Citilink, Arif Wibowo, mengatakan, Citilink dibangun untuk mengakomodir penduduk kelas bawah, sehingga Garuda tak kehilangan pangsa pasar. Garuda untuk kalangan menengah ke atas, sedangkan Citilink untuk menengah ke bawah. “Karena susah orang kaya kalau dicampur dengan orang miskin,” katanya kepada VIVAnews.
Dengan nama besar Garuda, Citilink yakin pada 2017 bisa menguasai 17 persen pangsa pasar penerbangan rendah biaya Indonesia dari saat ini 11,5 persen. Ia yakin dengan rute-rute gemuk yang dimiliki, Citilink bisa cepat mencapai target itu. Rute gemuk yang dimaksud adalah Jakarta, Medan, Surabaya, Bali, Batam, Balikpapan.
“Dengan penambahan 10 unit pesawat tiap tahun, kami yakin pada 2015 bisa mengangkut 16,4 juta penumpang,” kata Arief.
Direktur Komersial Mandala, Brata Rafly, mengatakan, transportasi udara saat ini bukan lagi barang mewah. Dengan ditopang rendahnya biaya tiket, membuat orang makin bisa memilih transportasi udara, karena dapat menghemat waktu banyak.
Benar saja, tak kurang dari satu tahun setelah buka kembali, Mandala sudah bisa mengoperasikan tujuh pesawat dengan rute andalan Jakarta-Medan, Jakarta-Pekanbaru, Jakarta-Medan, dan Jakarta-Bangkok. “Kami tumbuh sangat cepat,” kata Brata.
Ia yakin, dengan nama Tiger Airways, Mandala akan mempunyai standar tinggi pada keselamatan dan ketepatan waktu.
Pertarungan Sengit
Meski berbagai data menunjukkan bahwa potensi penumpang pesawat masih besar di Indonesia, tetapi fakta menunjukkan bahwa bisnis penerbangan juga tidak semudah seperti yang terlihat. Perang harga antar masakapai penerbangan menyebabkan beberapa maskapai akhirnya bangkrut.
Tercatat ada beberapa maskapai berbiaya rendah yang telah kolaps akibat kesulitan keuangan atau tidak kuasa bertempur di langit. Maskapai tersebut antara lain adalah Sempati Air, Bouraq Airline, Adam Air dan Indonesia Air. Paling muktahir adalah Batavia Air yang akhirnya dipailitkan oleh kreditornya, International Lease Finance Corporation.
Seperti dikatakan oleh pengamat penerbangan Alvin Lie, nantinya hanya maskapai yang didukung dana besar yang bakal bertahan. “Mungkin nantinya persaingan akan mengerucut pada tiga kekuatan besar yaitu AirAsia, Lion Air, dan Citilink," kata pengamat penerbangan, Alvin Lie, kepada VIVAnews, belum lama ini.
Menurut Alvin Lie, maskapai yang harus berjuang menentukan posisinya dalam peta persaingan bisnis penerbangan LCC adalah Sriwijaya Air dan Mandala. "Yang agak tanggung sekarang adalah Sriwijaya. Apakah mereka akan repositioning atau seperti apa. Sementara itu, Mandala masih mencari bentuk," kata Alvin.
Dari dua kekuatan besar maskapai LCC, Alvin justru melihat persaingan besar akan terjadi pada dua operator yaitu AirAsia dan Citilink. Selain bermodal kuat, keduanya tercatat sudah memiliki pesawat yang bermain di level regional.
Sebagai anak usaha Garuda Indonesia, Citilink diuntungkan dengan posisi induk perusahaan. Citilink bisa menggunakan jaringan regional yang dimiliki oleh induk usahanya yang sudah bergabung dengan jaringan global Skytrax.
Sementara itu, AirAsia Indonesia yang masuk dalam keluarga AirAsia Bhd juga memiliki kekuatan yang sama. Induk usaha mereka sudah mempunyai jaringan yang bersifat regional dengan rute penerbangan internasional yang lebih besar.
© VIVA.co
0 komentar:
Posting Komentar