Selamatkan Pantai, Mahasiswa UNS Ciptakan Land Sea Belt
Empat mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik (FT) Universitas Sebelas Maret (UNS) menciptakan Land Sea Belt sebagai upaya penyelamatan pantai dari kerusakan lingkungan akibat abrasi dan krisis ikan segar. Keempat mahasiswa tersebut adalah Eka Feri Rudianto, Hidayat Zainuddin, Akbar Hantar Rochamadhon, dan Hardiyanto Agung Nugroho.
Koordinator tim, Eka Feri Rudianto menuturkan Land Sea Belt merupakan dek apung ramah lingkungan yang berfungsi menjaga keseimbangan alam dan manusia. Pembuatannya didasarkan atas realita di desa Kandang Panjang, pesisir utara Kabupaten Pekalongan. “Konsep Land Sea Belt ini berdasarkan riset dan survei yang kita lakukan di daerah pantai utara Pekalongan karena penangkapan ikan yang berlebihan menyebabkan nelayan kesulitan mendapatkan ikan. Selain itu, karena kerusakan garis pantai yang semakin tergerus akibat abrasi,” ungkap Feri. Berdasarkan riset, garis pantai di pesisir utara Pekalongan telah mengalami kemunduran 10-15 meter dalam kurun waktu enam tahun akibat abrasi.
“Land Sea Belt sebagai dek apung dapat difungsikan sebagai keramba ikan yang dapat memecah gelombang penyebab abrasi, melindungi tempat persemaian bakau shelter edukasi, shelter nelayan, bahkan dapat dikelola sebagai pembangkit listrik tenaga ombak,” urainya. Ia pun mencontohkan, hubungan Land Sea Belt dengan hutan bakau adalah simbiosis mutualisme. Tanaman bakau yang masih dalam tahap persemaian membutuhkan pelindung dari ombak agar dapat tumbuh kokoh. Sedangkan, ikan dalam keramba di dek apung membutuhkan hutan bakau sebagai sumber makanannya. “Dua hal ini tidak dapat dipisahkan
karena sama-sama saling membutuhkan. Kemudian dalam perkembangannya, dek apung menyesuaikan dengan pertumbuhan hutan bakau,” tandas Feri.
Land Sea Belt yang diciptakan keempat mahasiswa tersebut sangat fleksibel dan mudah untuk dipasang. “Land Sea Belt ini bentuknya seperti puzzle. Setiap modul berukuran 25 meter. Jadi dek apung ini sangat fleksibel letak dan jumlahnya karena mengikuti pergerakan garis pantai,” kata Feri. Untuk materialnya, dapat dipakai kayu laban yang dipakai nelayan untuk membuat kapal. Sehingga, masyarakat yang ingin menggunakan Land Sea Belt dapat membuatnya sendiri.
Meskipun demikian, Land Sea Belt yang didesain saat ini hanya mampu digunakan di lokasi tertentu, seperti di daerah Pantura atau pantai daerah lain yang memiliki ombak kecil dan angin berkecepatan sedang. “Memang lokasi untuk Land Sea Belt ini khusus (daerah pantura), tidak seperti di pantai selatan yang angin dan ombaknya besar,” ujar Feri.
Land Sea Belt yang diciptakan keempat mahasiswa ini mengusung mereka menjadi juara kedua Student Category dalam sayembara FuturArc yang diselenggarakan oleh Building dan Construction Interchange (BCI) Asia pada 2011 lalu. Pembuatan konsep Land Sea Belt sendiri membutuhkan waktu tiga bulan. “Kita mulai membuat konsep pada September 2011, selesai sekitar 3 bulan kemudian dan langsung kita ajukan untuk FuturArc BCI Asia karena batas waktu pengumpulan konsep akhir Desember 2011,” imbuh Feri.
FuturArc Prize sendiri merupakan sayembara desain arsitektur yang diselenggarakan untuk mencari solusi perancangan/desain berwawasan lingkungan yang menyeluruh di Asia Pasifik. Hal ini bertujuan untuk menjadi katalisator perubahan, lumbung gagasan dan solusi untuk desain berkelanjutan. FuturArc terdiri dari dua kategori yakni Professional Category dan Student Category. “Juara I itu dari Filipina, juara II dari UNS, yang juara III dari UGM,” ujar Hidayat, salah satu anggota tim yang menemani Feri saat itu.
Dalam acara FuturArc, keempat mahasiswa tersebut dituntut untuk menyampaikan desain dan konsep untuk memecahkan permasalahan nonarsitektural secara arsitektur. “Disana, kita menyampaikan desain dan konsep. Fokusnya adalah kita dapat memecahkan permasalahan non arsitektural secara arsitektur. Dalam artian membuat suatu wadah yang dapat digunakan sebagai aktivitas manusia namun itu juga sebagai solusi atas isu-isu lingkungan. Saat itu jurinya dari India, Thailand, Inggris, Indonesia, dan Singapura,” kisah dia. Kemenangan Land Sea Belt dalam ajang itu, menurutnya, karena mengusung isu kerusakan lingkungan yang masih hangat, mudah diaplikasikan, dan multifungsi.
Keberadaan Land Sea Belt tidak hanya terhenti pada ajang FuturArc tersebut, melainkan juga diperkenalkan kepada masyarakat luas melalui berbagai diskusi. “Kemarin kita sudah diikutkan dalam diskusi di Jogja dan Semarang. Dalam waktu dekat kita juga akan ke Bandung,” tandas Feri.
Koordinator tim, Eka Feri Rudianto menuturkan Land Sea Belt merupakan dek apung ramah lingkungan yang berfungsi menjaga keseimbangan alam dan manusia. Pembuatannya didasarkan atas realita di desa Kandang Panjang, pesisir utara Kabupaten Pekalongan. “Konsep Land Sea Belt ini berdasarkan riset dan survei yang kita lakukan di daerah pantai utara Pekalongan karena penangkapan ikan yang berlebihan menyebabkan nelayan kesulitan mendapatkan ikan. Selain itu, karena kerusakan garis pantai yang semakin tergerus akibat abrasi,” ungkap Feri. Berdasarkan riset, garis pantai di pesisir utara Pekalongan telah mengalami kemunduran 10-15 meter dalam kurun waktu enam tahun akibat abrasi.
“Land Sea Belt sebagai dek apung dapat difungsikan sebagai keramba ikan yang dapat memecah gelombang penyebab abrasi, melindungi tempat persemaian bakau shelter edukasi, shelter nelayan, bahkan dapat dikelola sebagai pembangkit listrik tenaga ombak,” urainya. Ia pun mencontohkan, hubungan Land Sea Belt dengan hutan bakau adalah simbiosis mutualisme. Tanaman bakau yang masih dalam tahap persemaian membutuhkan pelindung dari ombak agar dapat tumbuh kokoh. Sedangkan, ikan dalam keramba di dek apung membutuhkan hutan bakau sebagai sumber makanannya. “Dua hal ini tidak dapat dipisahkan
karena sama-sama saling membutuhkan. Kemudian dalam perkembangannya, dek apung menyesuaikan dengan pertumbuhan hutan bakau,” tandas Feri.
Land Sea Belt yang diciptakan keempat mahasiswa tersebut sangat fleksibel dan mudah untuk dipasang. “Land Sea Belt ini bentuknya seperti puzzle. Setiap modul berukuran 25 meter. Jadi dek apung ini sangat fleksibel letak dan jumlahnya karena mengikuti pergerakan garis pantai,” kata Feri. Untuk materialnya, dapat dipakai kayu laban yang dipakai nelayan untuk membuat kapal. Sehingga, masyarakat yang ingin menggunakan Land Sea Belt dapat membuatnya sendiri.
Meskipun demikian, Land Sea Belt yang didesain saat ini hanya mampu digunakan di lokasi tertentu, seperti di daerah Pantura atau pantai daerah lain yang memiliki ombak kecil dan angin berkecepatan sedang. “Memang lokasi untuk Land Sea Belt ini khusus (daerah pantura), tidak seperti di pantai selatan yang angin dan ombaknya besar,” ujar Feri.
Land Sea Belt yang diciptakan keempat mahasiswa ini mengusung mereka menjadi juara kedua Student Category dalam sayembara FuturArc yang diselenggarakan oleh Building dan Construction Interchange (BCI) Asia pada 2011 lalu. Pembuatan konsep Land Sea Belt sendiri membutuhkan waktu tiga bulan. “Kita mulai membuat konsep pada September 2011, selesai sekitar 3 bulan kemudian dan langsung kita ajukan untuk FuturArc BCI Asia karena batas waktu pengumpulan konsep akhir Desember 2011,” imbuh Feri.
FuturArc Prize sendiri merupakan sayembara desain arsitektur yang diselenggarakan untuk mencari solusi perancangan/desain berwawasan lingkungan yang menyeluruh di Asia Pasifik. Hal ini bertujuan untuk menjadi katalisator perubahan, lumbung gagasan dan solusi untuk desain berkelanjutan. FuturArc terdiri dari dua kategori yakni Professional Category dan Student Category. “Juara I itu dari Filipina, juara II dari UNS, yang juara III dari UGM,” ujar Hidayat, salah satu anggota tim yang menemani Feri saat itu.
Dalam acara FuturArc, keempat mahasiswa tersebut dituntut untuk menyampaikan desain dan konsep untuk memecahkan permasalahan nonarsitektural secara arsitektur. “Disana, kita menyampaikan desain dan konsep. Fokusnya adalah kita dapat memecahkan permasalahan non arsitektural secara arsitektur. Dalam artian membuat suatu wadah yang dapat digunakan sebagai aktivitas manusia namun itu juga sebagai solusi atas isu-isu lingkungan. Saat itu jurinya dari India, Thailand, Inggris, Indonesia, dan Singapura,” kisah dia. Kemenangan Land Sea Belt dalam ajang itu, menurutnya, karena mengusung isu kerusakan lingkungan yang masih hangat, mudah diaplikasikan, dan multifungsi.
Keberadaan Land Sea Belt tidak hanya terhenti pada ajang FuturArc tersebut, melainkan juga diperkenalkan kepada masyarakat luas melalui berbagai diskusi. “Kemarin kita sudah diikutkan dalam diskusi di Jogja dan Semarang. Dalam waktu dekat kita juga akan ke Bandung,” tandas Feri.
0 komentar:
Posting Komentar