☆ Aleta Baun, Perempuan Pahlawan Lingkungan dari NTT

Perjuangan Mama Aleta membuahkan hasil setelah 11 tahun. 

 Aleta Baun
Aleta Baun, seorang ibu dari Nusa Tenggara Timur, meraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2013 atas jasa-jasanya di bidang konservasi alam. Mama Aleta menerima langsung Goldman Environmental Prize 2013 dalam satu upacara khusus di San Francisco Opera House, Amerika Serikat, sekitar pukul 17.00, Senin 15 April 2013, waktu San Fransisco, atau pukul 07.00, 16 April 2013 WIB.

Goldman Environmental Prize 2013 merupakan Hadiah Lingkungan Hidup yang diberikan setiap tahun kepada pahlawan lingkungan hidup, masing-masing mewakili enam kawasan besar di dunia. Lima lainnya adalah Jonathan Deal (Afrika Selatan), Kimberly Wasserman (AS), Azzam Alwash (Irak), Rossano Ercolini (Italia), dan Nohra Padilla (Kolombia).

Aleta lahir dari keluarga petani di kaki Gunung Mutis, Timor, Nusa Tenggara Timur. Di usia muda, dia kehilangan ibunya sehingga dia dibesarkan perempuan lain di sukunya, Suku Mollo.

Sebagai seseorang yang hidupnya dibentuk oleh nilai-nilai dari tetua suku, Aleta menjadi pemimpin di komunitasnya, sehingga lama-lama dikenal sebagai Mama Aleta. Seperti dilansir laman Goldman Prize, Suku Mollo berabad-abad bertahan hidup dari keanekaragaman hayati di Gunung Mutis yang disakralkan. Mereka mengumpulkan makanan dan obat-obatan dari hutan, menanam di tanah subur dan menenun baju dari serat alami.

Perjuangan Mama Aleta telah dimulai pada 1990-an ketika Gunung Batu Anjaf dan Nausus mulai dirambah industri tambang dan industri kehutanan. Gunung Batu Anjaf untuk dikeruk (dibelah) dan diolah menjadi batu marmer. Batu, bagi orang Timor adalah batu nama. Nama marga ada pada batu-batu itu. Kalau batu nama itu dihilangkan, maknanya sama dengan menghilangkan identitas orang Timor.

Bagi Mama Aleta, jika hutan dan batu ditambang, mata air akan hilang. Sementara mereka menggantungkan hidup dari mata air untuk mengairi pertanian dan hutan untuk sumber pangan.

Dia pun bertindak, menyatukan komunitas untuk sama-sama menolak upaya korporasi itu demi mempertahankan identitas Suku Mollo. Keinginannya sederhana, agar masyarakat setempat tidak kehilangan sumber pangan, identitas dan budaya daerah. Mama Aleta secara damai menduduki tempat-tempat penambangan marmer dengan aksi yang disebut "protes sambil menenun."

Perjuangan Mama Aleta dan Masyarakat Adat Mollo selama 11 tahun mulai membuahkan hasil pada 2007, dengan dihentikannya operasi tambang di daerah tersebut. Perusakan tanah hutan yang sakral di Gunung Mutis, Pulau Timor akhirnya bisa dicegah.

Kegigihan perempuan kelahiran Lelobatan, Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 16 Maret 1963 itu mempertahankan tanah leluhurnya dan membangun solidaritas dan menjadi inspirasi bagi kaum tani dan masyarakat adat, khususnya kaum perempuan adat, telah membawanya meraih penghargaan lingkungan hidup "Goldman Environmental Prize 2013".

Penghargaan untuk Masyarakat Adat

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyambut gembira penghargaan Goldman Enviromental Prize 2013 kepada Aleta. “Saya gembira. Ini penghargaan yang pantas buat Mama Aleta. Beliau merupakan Perempuan Adat yang menjadi pemimpin dan memilih menggerakkan perempuan di tengah struktur sosial yang lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki," kata Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan, secara tertulis ke VIVAnews.

Menurut Abdon, Mama Aleta berhasil menggerakkan Masyarakat Adat Mollo untuk kembali percaya pada kekuatan ritual sebagai media yang mempersatukan perjuangan bersama antara masyarakat adat dengan para leluhurnya, salah satunya melawan agresi pembangunan yang masuk dalam bentuk tambang marmer.

"Saya juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga Goldman karena ini kali ketiga pemimpin pergerakan Masyarakat Adat Nusantara menerima Goldman Environmental Prize. Sebelumnya dimenangkan oleh Bapak (alm) Loir Botor Dingit, Kepala Adat Besar Masyarakat Adat Dayak Bentian dari Kalimantan Timur pada tahun 1997 dan Mama Yosepha Alomang dari Orang Amungme di Papua pada tahun 2001," katanya.

Samdhana Institute, lembaga pendukung dan pengusul Mama Aleta ke Goldman Environment Prize, juga menyampaikan ucapan terima kasih. "Penghargaan ini merupakan bentuk penghargaan atas semua perjuangan ibu-ibu petani dan Masyarakat Adat Nusantara yang Mama Aleta wakili sebagai pahlawan dalam pertahanan budaya, pangan, penghidupan berkelanjutan, pemeliharaan dan pengelolaan alam. Ternyata perjuangan beliau dihargai oleh dunia luas lingkungan hidup,” kata Antoinette G. Royo, Direktur Eksekutif Samdhana.

Didirikan sejak 1989 oleh beberapa tokoh masyarakat seperti Richard dan Rhoda Goldman dari San Francisco, Goldman Enviromental Prize saat ini memasuki tahun ke-24. Selain Mama Aleta, Goldman Enviromental Prize 2013 diberikan kepada Jonathan Deal (Afrika Selatan), Azzam Alwash (Irak), Rossano Ercolini (Italia), Kimberly Wasserman (AS) dan Nohra Padilla (Kolombia).

Perjuangan Berlanjut

Meski telah berhasil di kampungnya, perjuangan Mama Aleta terus berlanjut. Kini selain aktif di AMAN, Mama Aleta juga membangun jaringan se-Timor Barat untuk memetakan hutan mereka. Tujuannya adalah agar hak ulayat mereka terjaga dari proyek pertambangan, perkebunan atau penebangan hutan. Mama Aleta juga mengembangkan ekonomi alternatif dengan mengenalkan pertanian berkelanjutan dan menghasilkan pendapatan dari tenun tradisional.

Perjuangan ini masih berlanjut karena NTT saat ini agresif didekati perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan. Dalam sebuah seminar, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal NTT, Sarah Lery Mboeik, menyatakan, penambangan hanya memberikan kontribusi kurang dari dua persen pada pendapatan daerah. Sebaliknya, pertambangan memberikan kerusakan lingkungan, dan mengurangi lahan produktif.

Tentu saja, penambangan yang diduga mengabaikan dampak lingkungan ini bisa mendatangkan bencana besar, seperti tanah longsor dan kekeringan berkepanjangan. "Penambangan di sana sebagian besar tak memperhatikan Amdal," kata dia, pada November 2011 itu.

Di NTT, menurut Mboeik, tidak kurang dari satu juta hektare lahan warga yang kini dikuasai investor pertambangan. Ironisnya, lebih dari 50 persen penduduknya hidup dalam kemiskinan. Sebagian besar perusahaan juga memperlakukan masyarakat sebagai pekerja, padahal faktanya, mereka adalah pemilik lahan yang di dalamnya terdapat cadangan tambang.(sj)


  Vivanews  

0 komentar:

Posting Komentar