Pesawat Tanpa Awak (PUNA) BPPT

 Pesawat Tanpa Awak akan Dibekali Senjata Militer 

Pemerintah berencana menggunakan pesawat udara nir awak (PUNA) untuk mengawasi sejumlah wilayah perbatasan yang rawan konflik.

Andi Alisjahbana, Director of Technology and Engineering Development PT Dirgantara Indonesia (PTDI), mengatakan pengembangan pesawat tanpa awak bukan hanya terbatas pada tindakan defensif saja. Pesawat tanpa awak ini juga bisa dikembangkan menjadi lebih agresif untuk melakukan penyerangan.


"Kemungkinan akan kita lengkapi senjata militar itu mengapa desain panjang sayap pesawat kita, 6 meter, lebih panjang dibanding pesawat PUNA yang biasanya 4 meter," kata Andi, Senin (29/4/2013).


Ia mengatakan sejauh ini memang pesawat tanpa awak pertama ini baru saja dikembangkan untuk pengawasan wilayah. Terutama untuk mengambil data yang dibutuhkan Kemenhan dalam menjaga perbatasan.


"Memang untuk tahun pertama kita siapkan untuk jaga perbatasan, dalam tahun kedua kita bisa kembangkan dengan menaruh senjata di sayap dan digunakan untuk pertempuran," katanya.


 Kemenhan Pesan Pesawat PUNA BPPT untuk 100 Skuadron 

PT Dirgantara Indonesia akan memproduksi pesawat udara nirawak (PUNA) seri Wulung untuk seratus skuadron. Pesawat tersebut merupakan hasil rancang bangun BPPT bekerja sama dengan PT LEN untuk alat elektroniknya.

"Kementerian Pertahanan memesan PUNA yang diproduksi PT Dirgantara Indonesia untuk 100 skuadron," kata Direktur Teknologi Industri Ditjen Potensi Pertahanan Kemenham Marsma TNI Darlis Pangaribuan usai menghadiri penandatanganan kerja sama BPPT dengan PT Dirgantara Indonesia dan PT LEN di Jakarta, Senin (29/4).

Dikatakan, satu skuadron bisa berbeda isinya. "Ada 12 pesawat, 16 pesawat dan 24 pesawat," imbuhnya.

Ia juga menyebutkan satu PUNA harganya rata-rata Rp9 miliar. "PUNA ini dipakai untuk survailance menjaga NKRI yang cukup luas. Apalagi Indonesia punya hampir 17 ribu lebih pulau," ujarnya.

Nantinya pesawat tersebut akan melakukan tugas khusus untuk mengawasi daerah perbatasan, pencurian ikan, pembalakan hutan secara liar, dan sebagainya.

Dalam kesempatan tersebut Kepala Program PUNA Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan BPPT Joko Purwono menambahkan, riset pesawat tanpa awak itu sudah dimulai sejak 2004 hingga sekarang dengan anggaran total Rp15 miliar.

"Untuk PUNA Wulung ini memiliki ketahanan terbang maksimum empat jam dan jarak jelajah maksimum 200 kilometer, serta ketinggian terbang 12 ribu kaki," terangnya.

Saat ini PUNA buatan BPPT itu sudah diuji coba di pelatihan militer milik TNI AD di Batujajar, Jawa Barat, dan Nusa Biru, Pangandaran, milik Kementerian Perhubungan.

Pada bagian lain Direktur Teknologi dan Produksi PT LEN Industri, Darman Mappangara, menjelaskan dalam pesawat tersebut akan ditambah dengan teknologi electro optical surveillance yang bisa dipantau lewat sistem komunikasi di daratan secara real time.

"Kami akan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi pemantau yang dipasang di pesawat nir awak, seperti halnya yang telah dipakai di luar negeri," jelas Darman.

Pesawat tersebut juga sedang dirancang untuk bisa mendarat di malam hari. Untuk itu, di dalam pesawat akan ditambahi kamera infra merah sehingga bisa mendeteksi lokasi pendaratan secara otomatis. Bahkan dalam perkembangannya nanti, PUNA tidak hanya untuk tugas khusus.

"Bisa juga untuk pengeboman, mendeteksi ancaman, dan sebagainya," imbuh Joko.

PT Dirgantara Indonesia yang diwakili Direktur Teknologi Pengembangan Andi Alisjahbana menyambut baik komersialisasi PUNA seri Wulung ini. Apalagi sudah banyak negara di ASEAN memanfaatkan pesawat tersebut untuk kepentingan nasional.

"Kita akan kembangkan dengan memakai teknologi dalam negeri, dengan komponen dan sumber daya manusia dari dalam negeri." (Siswantini Suryandari)



   Tribunnews | Metrotv  

0 komentar:

Posting Komentar