Untung Rugi Pesawat Berbahan Bakar Nabati

 Pemerintah berupaya menanggulangi dampak perubahan iklim.

Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sepakat untuk memanfaatkan bahan bakar nabati bagi pesawat udara (aviation biofuel). Kedua kementerian juga akan memanfaatkan energi terbarukan (renewable energy) secara berkelanjutan untuk kebutuhan energi di bandar udara.

"Kedua program tersebut merupakan bagian dari aksi Kementerian Perhubungan dalam penanggulangan perubahan iklim dan mitigasi gas rumah kaca," kata Menteri Perhubungan, E.E. Mangindaan, dalam sambutan kerja sama kedua kementerian melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi di Jakarta, Jumat 27 Desember 2013.

Mangindaan menjelaskan, upaya itu dilakukan dengan mempertimbangkan potensi dan sumber daya nasional di bidang bioenergi serta energi terbarukan. Aksi tersebut juga menjadi bagian dari upaya nasional dalam program konservasi energi.

Pemanfaatan aviation biofuel pada pesawat udara dan renewable energy pada bandar udara, dia menambahkan, akan berkontribusi dalam substitusi bahan bakar minyak berbasis fosil secara bertahap.

Kesepakatan bersama tersebut juga merupakan tindak lanjut atas kebijakan, strategi, dan langkah aksi program Rencana Aksi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) Kementerian Perhubungan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 201 Tahun 2013.

Dalam keputusan itu antara lain mencakup implementasi aviation biofuel dengan bauran 2 persen pada 2016 dan target bauran 3 persen pada 2020. Demikian juga dengan pemanfaatan energi terbarukan, yaitu sebesar 7,5 megawatt pada bandar udara hingga 2020.

Kesepakatan bersama tersebut juga menetapkan dibentuknya tim kerja yang akan melibatkan kedua kementerian beserta operator dan pemangku kepentingan lainnya. Mereka bertanggung jawab melakukan kegiatan perencanaan, pra pelaksanaan, dan pelaksanaan secara berkelanjutan mulai 2014 hingga 2016.

Tim akan fokus pada empat aspek utama, yaitu pertama, penguatan kelembagaan, regulasi, sumber daya manusia, tata kelola dan bisnis proses.

Kedua, studi, riset, dan pengembangan. Ketiga, uji coba dan persiapan sertifikasi, dan keempat adalah analisis komersial serta harga, produksi, dan keberlanjutan.

Tim kerja tersebut akan mendapatkan pendampingan dan bantuan teknis melalui program kerja sama dengan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) MSA Annex 5 yang telah ditandatangani pada Oktober 2013 di Montreal, Kanada.

Turunkan emisi gas rumah kaca

Mangindaan menambahkan, melalui kerja sama itu, pemerintah berupaya menanggulangi dampak perubahan iklim dan mitigasi gas rumah kaca seperti telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20 di Pittsburgh, AS.

Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 dengan upaya sendiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional.

Dia menjelaskan, pemerintah melalui Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca dan Perpres No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, telah memberikan landasan hukum bagi kementerian dan lembaga, khususnya sektor energi serta transportasi untuk menjabarkan program RAN-GRK secara berkelanjutan hingga 2020.

Khusus untuk inisiatif program dan pemanfaatan bahan bakar nabati pada pesawat udara dan energi terbarukan pada bandar udara telah tercakup dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 201 Tahun 2013. Keputusan itu diperkuat dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2013, yaitu mempercepat kontribusi nasional dalam penurunan emisi gas rumah kaca.

"Aksi itu dalam kerangka melakukan konservasi energi sesuai target nasional, yaitu dengan bauran 5 persen biofuel dan energi terbarukan pada 2025," tuturnya.

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) maupun Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah meletakkan kerangka dasar strategi dalam penanggulangan perubahan iklim dan mitigasi emisi gas rumah kaca itu. Upaya yang dilakukan antara lain pengembangan teknologi dan rancang bangun sarana bergerak, mesin pendorong, dan prasarana yang lebih hemat konsumsi bahan bakar dan energi.

Selain itu, pengembangan tata kelola, bisnis proses, dan operasional serta perawatan sarana bergerak serta titik simpul yang efisien dan hemat bahan bakar atau energi. Upaya lain, peningkatan jalur-jalur, rute-rute, manajemen lalu lintas penerbangan, serta pelayaran yang lebih efisien dan hemat bahan bakar.

Langkah selanjutnya adalah pengembangan bahan bakar alternatif dan energi terbarukan untuk sarana bergerak maupun prasarana bandar udara dan pelabuhan.

"Strategi itu memberikan gambaran bahwa upaya penurunan emisi sektor transportasi sangat erat hubungannya dengan efisiensi bahan bakar dan konservasi energi berbasis fosil," tuturnya.

Dia juga menjelaskan, kontribusi gas rumah kaca dalam berbagai aktivitas transportasi secara nasional cenderung meningkat, seiring dengan pertumbuhan sektor transportasi dan ekonomi nasional. Kondisi itu juga dipengaruhi pertumbuhan aktivitas industrialisasi serta mobilitas barang, dan pertumbuhan populasi, sebaran, serta mobilitas sumber daya manusia.

"Kenaikan pertumbuhan sektor transportasi darat, laut, dan udara maupun kereta api berkontribusi signifikan terhadap kenaikan emisi gas rumah kaca," ujarnya.

Kegiatan di sektor transportasi itu, menurut dia, masih didominasi oleh pertumbuhan penggunaan energi berbasis fosil, yaitu bahan bakar minyak (BBM) yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.

Keberhasilan pemanfaatan bahan bakar nabati dan energi terbarukan itu menjadi tantangan dan perlu disikapi bersama, dengan mensinergikan segala elemen dan sumber daya nasional maupun internasional. Upaya ini diharapkan dapat memberikan daya ungkit (leverage) maksimal bagi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca itu.

Sementara itu, Menteri ESDM, Jero Wacik, mengatakan, upaya pemanfaatan bahan bakar nabati dan energi terbarukan itu merupakan kerja sama untuk mengurangi impor bahan bakar minyak yang jumlahnya sangat besar dan membebani anggaran negara.

"Kita impor BBM ongkosnya setengah triliun rupiah setiap hari. Dengan adanya ini, pelan-pelan kita alihkan ke aviation biofuel dan gas," kata Wacik.

Menurut Wacik, pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia masih tergolong sangat kecil, hanya 5 persen dari total bauran energi nasional. Padahal, Indonesia memiliki potensi bahan bakar nabati terbesar kedua setelah Brasil.

Maskapai mendukung

Sementara itu, manajemen PT Garuda Indonesia Tbk menyambut positif rencana penggunaan biofuel tersebut sebagai bahan bakar pesawat.

"Kami mendukung biofuel tersebut dan perlu diuji coba," kata Direktur Utama Garuda, Emirsyah Satar, melalui pesan tertulisnya kepada VIVAnews, Jumat, 27 Desember 2013.

Namun, Emirsyah mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan bahan bakar itu. "Yang paling penting adalah terkait harga," tuturnya.

Dia menjelaskan, harga biofuel yang jauh lebih mahal dibanding avtur biasa, bisa membuat biaya operasi meningkat. "Selain itu, perlu diperhatikan soal kepastian suplainya," kata dia.
Emirsyah menambahkan, bahan bakar menyerap 40 persen dari biaya operasi maskapai penerbangan pelat merah itu.

Maskapai Lion Air pun tidak mempermasalahkan penggunaan biofuel sebagai bahan bakar pesawatnya. Asalkan, ada satu syarat yang harus dipenuhi.

"Kami, sih, prinsipnya tidak masalah (menggunakan biofuel)," kata Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait, ketika dihubungi VIVAnews.

Edward mengatakan, Lion Air dengan senang hati akan menggunakan bahan bakar itu sebagai sumber energi mesin pesawatnya. Tapi, itu bisa dilaksanakan kalau sudah "diamini" oleh perusahaan pembuat pesawat.

"Itu kalau memang sudah diperbolehkan pabrik pembuat pesawat. Kami kan tidak bisa menentukan sendiri (penggunaan) biofuel," kata dia.

Dia pun mengatakan bahwa maskapainya belum mendapatkan informasi tentang kemungkinan mesin pesawat-pesawat yang dioperasikan Lion Air, menggunakan biofuel. Selama ini, maskapai berlambang singa terbang ini menganggarkan dana puluhan persen untuk biaya bahan bakar.

"Sekitar 40-45 persen dari total operational cost," kata dia.

Namun, dia tidak menyebutkan secara pasti jumlah avtur yang "ditenggak" pesawat-pesawatnya. "Itu, kan tergantung operasionalnya, tergantung jam terbangnya," kata dia. (sj)


  Vivanews  

0 komentar:

Posting Komentar