Batan Ciptakan Varietas Kedelai Super Genjah
Jakarta - Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) berhasil menciptakan varietas kedelai baru yang masuk kategori super-genjah atau memiliki umur panen hanya 66-68 hari. Varietas unggul kedelai yang diberi nama Gamasugen 1 dan Gamasugen 2 ini merupakan pengembangan dari benih induk kedelai Tidar melalui pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi radiasi.
Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Batan, Hendig Winarno, mengatakan varietas kedelai Gamasugen 1 dan Gamasugen 2 ini cocok sebagai tanaman sela, khususnya di lahan sawah yang berpengairan. “Padi kan biasanya panen dua kali setahun, tidak cocok kalau tiga kali, makanya cocok ditanam kedelai Gamasugen karena masa panennya cepat sehingga lahan sawah tidak mubazir,” kata Hendig saat memperkenalkan varietas Gamasugen, di kantor Patir Batan, Lebak Bulus, Jakarta, Senin, 2 Desember 2013.
Ia menyebutkan, varietas Gamasugen 1 dan Gamasugen 2 memiliki tingkat produksi rata-rata 2,4 ton per hektare bahkan memiliki potensi hingga 2,6 ton per hektare. Meski masih kalah dibanding rata-rata produksi di negara penghasil kedelai, angka ini jauh lebih tinggi daripada tingkat produksi kedelai nasional, yang rata-rata hanya 1,5 ton per hektare. Kedua varietas unggul ini juga terbukti tahan terhadap penyakit karat daun, penyakit hawar daun cokelat, dan tahan terhadap serangan hama penggerek pucuk.
Dari segi rasa, Gamasugen 1 dan Gamasugen 2 diakui lebih enak, dengan tingkat rendemen tahu dan tempe lebih tinggi dibanding kedelai impor. Selain itu, kandungan protein pada kedua varietas ini mencapai 37 persen, dan kandungan lemaknya 13,2 persen.
Peneliti kedelai di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Batan, Arwin, menambahkan, varietas Gamasugen adalah satu-satunya varietas kedelai di Indonesia yang memiliki umur panen di bawah 70 hari. Sebab, varietas kedelai yang sudah ada memiliki umur panen paling pendek hanya 73 hari.
Arwin menjelaskan, meski kedelai adalah tanaman subtropis, varietas Gamasugen sudah terbukti bisa tumbuh di lahan tropis baik saat musim hujan ataupun kemarau. Varietas kedelai Gamasugen 1 dan Gamasugen 2 sangat cocok ditanam di lahan sawah karena tak perlu lagi mengolah tanah dan bisa mengurangi penggunaan pupuk urea pada penanaman padi selanjutnya karena biji akarnya mampu mengikat nitrogen. “Biasanya setelah dua kali musim hujan petani padi membiarkan lahannya. Dengan varietas Gamasugen, satu minggu setelah panen padi bisa langsung tanam kedelai, dan ini bisa menguntungkan petani,” ucapnya.
Untuk membuktikan varietas ini layak dan memenuhi kriteria untuk pelepasannya, peneliti melakukan uji adaptif di 16 lokasi, di antaranya di wilayah Banyumas, Purbalingga, Palembang, Malang, Bogor, dan Majalengka. Pengujian dilakukan pada dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Hasilnya, produktivitas paling tinggi berada di wilayah Kalimanah, Purbalingga, dengan produktivitas 2,59 ton per hektare, dan di Baturraden, Banyumas, dengan produktivitas 2,51 ton per hektare. Keduanya diuji di atas tanah berjenis Latosol.
”Selain itu, kami sudah uji untuk pembuatan tahu dan tempe. Ternyata hasilnya tidak kalah sama kedelai impor. Rasanya lebih gurih dan lebih segar,” kata Arwin.
Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Batan, Hendig Winarno, mengatakan varietas kedelai Gamasugen 1 dan Gamasugen 2 ini cocok sebagai tanaman sela, khususnya di lahan sawah yang berpengairan. “Padi kan biasanya panen dua kali setahun, tidak cocok kalau tiga kali, makanya cocok ditanam kedelai Gamasugen karena masa panennya cepat sehingga lahan sawah tidak mubazir,” kata Hendig saat memperkenalkan varietas Gamasugen, di kantor Patir Batan, Lebak Bulus, Jakarta, Senin, 2 Desember 2013.
Ia menyebutkan, varietas Gamasugen 1 dan Gamasugen 2 memiliki tingkat produksi rata-rata 2,4 ton per hektare bahkan memiliki potensi hingga 2,6 ton per hektare. Meski masih kalah dibanding rata-rata produksi di negara penghasil kedelai, angka ini jauh lebih tinggi daripada tingkat produksi kedelai nasional, yang rata-rata hanya 1,5 ton per hektare. Kedua varietas unggul ini juga terbukti tahan terhadap penyakit karat daun, penyakit hawar daun cokelat, dan tahan terhadap serangan hama penggerek pucuk.
Dari segi rasa, Gamasugen 1 dan Gamasugen 2 diakui lebih enak, dengan tingkat rendemen tahu dan tempe lebih tinggi dibanding kedelai impor. Selain itu, kandungan protein pada kedua varietas ini mencapai 37 persen, dan kandungan lemaknya 13,2 persen.
Peneliti kedelai di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Batan, Arwin, menambahkan, varietas Gamasugen adalah satu-satunya varietas kedelai di Indonesia yang memiliki umur panen di bawah 70 hari. Sebab, varietas kedelai yang sudah ada memiliki umur panen paling pendek hanya 73 hari.
Arwin menjelaskan, meski kedelai adalah tanaman subtropis, varietas Gamasugen sudah terbukti bisa tumbuh di lahan tropis baik saat musim hujan ataupun kemarau. Varietas kedelai Gamasugen 1 dan Gamasugen 2 sangat cocok ditanam di lahan sawah karena tak perlu lagi mengolah tanah dan bisa mengurangi penggunaan pupuk urea pada penanaman padi selanjutnya karena biji akarnya mampu mengikat nitrogen. “Biasanya setelah dua kali musim hujan petani padi membiarkan lahannya. Dengan varietas Gamasugen, satu minggu setelah panen padi bisa langsung tanam kedelai, dan ini bisa menguntungkan petani,” ucapnya.
Untuk membuktikan varietas ini layak dan memenuhi kriteria untuk pelepasannya, peneliti melakukan uji adaptif di 16 lokasi, di antaranya di wilayah Banyumas, Purbalingga, Palembang, Malang, Bogor, dan Majalengka. Pengujian dilakukan pada dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Hasilnya, produktivitas paling tinggi berada di wilayah Kalimanah, Purbalingga, dengan produktivitas 2,59 ton per hektare, dan di Baturraden, Banyumas, dengan produktivitas 2,51 ton per hektare. Keduanya diuji di atas tanah berjenis Latosol.
”Selain itu, kami sudah uji untuk pembuatan tahu dan tempe. Ternyata hasilnya tidak kalah sama kedelai impor. Rasanya lebih gurih dan lebih segar,” kata Arwin.
0 komentar:
Posting Komentar