Tergolong 4 negara berpotensi besar dalam ekonomi global pada 2050
Jakarta ♞ Indonesia dalam lima tahun terakhir menjadi sorotan dunia karena pertumbuhan ekonominya relatif stabil saat banyak negara - terutama di Eropa dan Amerika - masih berjuang keluar dari resesi global 2007-2008. Periode itulah yang seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru.
Stabilnya ekonomi negeri ini dalam setengah dekade terakhir - merujuk pada pertumbuhan yang selalu di kisaran 5-6% per tahun - rupanya sudah mulai diulas media-media massa mancanegara. Stasiun berita BBC dan majalah Forbes, misalnya, mengulas bagaimana Indonesia bisa masuk dalam gelombang baru ekonomi yang tengah bangkit, yang disebut sebagai "MINT."
Bila diterjemahkan secara harafiah dalam bahasa Inggris, MINT berarti "permen" atau "gula-gula." Namun itu adalah gabungan singkatan empat negara yang kini dipandang berpotensi sebagai kekuatan ekonomi baru. Mereka adalah Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki, MINT.
Pencetus istilah ini adalah ekonom Inggris Jim O'Neill. Mantan eksekutif Goldman Sachs itu pada 2001 memperkenalkan istilah "BRIC," yaitu gabungan dari Brazil, Rusia, India, dan China.
Empat negara BRIC, menurut O'Neill pada saat itu, diyakini berpotensi menjadi kekuatan ekonomi baru sekaligus memberi pengaruh bagi perekonomian dunia. Banyak ekonom dan pejabat setuju dengan O''Neill karena BRIC kini menjadi kekuatan lobi berpengaruh dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan China telah menjelma jadi raksasa ekonomi terbesar kedua yang juga diprediksi mampu melampaui AS dalam beberapa tahun ke depan.
Kini, O'Neill menyaksikan empat negara berkembang dari gelombang baru yang mulai mengikuti jejak-jejak BRIC. Itulah yang dia sebut sebagai MINT. Seperti BRIC, empat negara MINT ini tidak membentuk suatu aliansi khusus, namun bila terus mempertahankan atau meningkatkan performa ekonomi masing-masing hingga 2050, mereka bisa masuk sebagai kelompok negara maju.
Dalam ulasannya di BBC, O'Neill memaparkan mengapa empat negara dari kelompok MINT bisa menjadi raksasa baru ekonomi dunia dalam 30-40 tahun depan. Ada empat faktor mendasar yang menjadi senjata andalan MINT, yaitu punya populasi muda yang banyak untuk menjadi angkatan kerja yang produktif, posisi negara masing-masing yang sangat strategis, dan (kecuali Turki) punya sumber daya alam yang melimpah dan belum diolah secara optimal.
Bagi O'Neill, elemen-elemen demografi dan geostrategi itulah yang membuat iri banyak pihak, terutama negara-negara maju. Mereka kini menghadapi makin banyak warga yang memasuki usia pensiun, yang tidak sebanding dengan proporsi jumlah angkatan muda, dan kian sulit mengamankan pasokan sumber daya alam di masa depan karena di negeri mereka tidak punya barang mentah yang bisa diproduksi alami.
"Jadi bila Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki bersama-sama tampil dengan baik, beberapa dari mereka bisa menyamai pertumbuhan ekonomi dua digit, seperti yang dinikmati China selama 2003-2008," kaya O'Neill.
Menteri Luar Negeri Meksiko, Jose Antonio Meade Kuribrena, menunjukkan bahwa negaranya beserta tiga ekonomi punya keuntungan geografis dalam peta perdagangan dunia. Meksiko tidak saja bertetangga dekat dengan AS, yang merupakan raksasa ekonomi nomor satu saat ini, namun juga penghubung bagi Amerika Latin.
Indonesia terletak di jantung Asia Tenggara selain menjadi titik temu bagi dua samudera dan dua benua. Selain itu, Indonesia kian erat menjalin hubungan dengan China, calon kekuatan nomor satu dunia.
Turki merupakan tempat pertemuan strategis bagi dunia Barat dan Timur. Di Afrika, Nigeria menjadi gerbang strategis di kawasan barat benua itu, namun posisinya baru bisa optimal bila para tetangganya berhenti berperang dan mulai saling berdagang.
Bagi O'Neill, keuntungan-keuntungan itu bisa menjadi basis bagi MINT untuk mengembangkan suatu persekutuan ekonomi-politik sendiri demi memperluas profil serta pengaruh mereka di panggung global. Ini sudah ditunjukkan para pemimpin BRIC, yang menggelar pertemuan tahunan sejak 2009.
Kontributor majalah Forbes, Chris Wright, sepakat atas analisis O'Neill mengenai kebangkitan negara-negara berkembang, baik yang disebut sebagai BRIC maupun MINT. Menurut dia terminologi unik dari O'Neill itu mencerahkan dan penting.
"O'Neill, tentu saja membuat suatu gambaran ekonomi yang akan terwujud dalam beberapa dekade dan generasi mendatang. Pengamatannya harus dipandang dalam jangka yang amat panjang," tulis Wright.
Mengenai Indonesia, O'Neill memaparkan mengapa negara ini pantas masuk dalam kelompok MINT. Bermodalkan keuntungan demografi dan geografi, Indonesia berpotensi menikmati pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang signifikan.
Mengutip statistik dari Bank Dunia dan Goldman Sachs, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2012 sebesar US$0,88 triliun dan berada di peringkat 16. Namun, pada 2050 diyakini bisa melejit ke peringkat sembilan ekonomi dunia dengan PDB US$6,04 triliun - melampaui sejumlah negara maju Eropa saat ini, seperti, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia.
Pendapatan per kapita Indonesia pun terus naik dalam satu dasawarsa terakhir. Menurut data IMF dan Goldman Sachs, pada 2000 pendapatan per kapita negeri ini hanya US$800, namun pada 2012 naik signifikan hingga sebesar US$3.600. Pada 2050, nilainya diprediksi menjadi US$21.000.
Tantangan Besar
Namun, seperti yang diingatkan Wright, prediksi itu bersifat jangka panjang. Empat puluh tahun merupakan waktu yang sangat lama dan prediksi sangat mungkin berubah 180 derajat bila tidak ada upaya perbaikan untuk menuju ke angka yang diperkirakan.
Sebagai pencetus MINT, O'Neill sendiri memaparkan masih banyak tantangan atau kekurangan yang harus diperbaiki Indonesia bila ingin menjadi raksasa ekonomi baru. Bahkan, dibanding Meksiko dan Nigeria, dia melihat Indonesia saat ini kurang meyakinkan untuk tampil konsisten.
"Tantangan-tantangan yang dihadapi negara itu sebesar yang sudah saya perkirakan dan saya tidak mendengar banyak hal yang membuat saya sampai berseru 'Wow' [terkesan luar biasa] dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut," kata O'Neill.
Beberapa tantangan yang harus ditanggulangi Indonesia adalah bagaimana menciptakan daya tarik komersil yang lebih dari sekadar komoditas dan bagaimana memperbaiki infrastruktur. Kesenjangan tampak masih terlihat jelas, bahkan di Ibu Kota Jakarta.
"Di salah satu wilayah kumuh Jakarta, Pluit, permukaannya turun 20 cm per tahun karena pengambilan air tanah yang berlebihan. Namun, di tempat-tempat lain di kota itu, harga properti melambung tinggi," tulis O'Neill. Korupsi pun menjadi tantangan besar yang harus segera dienyahkan Indonesia, dan ini juga masalah bagi tiga negara MINT lainnya.
Selain itu, Indonesia dalam beberapa bulan terakhir tengah bermasalah dalam menata ekonomi domestik. "Kondisi fiskalnya telah bermasalah oleh defisit ganda, mata uangnya tengah jatuh, bertambahnya kekhawatiran keluarnya arus modal asing ke luar negeri, harga komoditas tengah turun, dan tahun 2014 akan berlangsung Pemilu di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat lagi memerintah, dan muncul kekecewaan akan lambannya pembangunan infrastruktur," kata Wright.
Maka, untuk mewujudkan prediksi jangka panjang itu, tantangan-tantangan yang mendesak untuk segera dibenahi Indonesia. Apalagi belum lama ini Bank Dunia memperingatkan bahwa pertumbuhan PDB Indonesia bisa turun dari level 5,6 persen di 2013 menjadi 5,3 persen di 2014.
Salah satu penyebab adalah turunnya investasi - yang hanya tumbuh 4,5 persen di kuartal ketiga – terutama untuk alat berat dan industri mesin. Proyeksi Bank Dunia masih diwarnai sejumlah risiko tinggi, dan tertuju pada pertumbuhan yang lebih lemah.
Rencana penghapusan stimulus bank sentral Amerika Serikat (US Federal Reserve) diperkirakan akan membuat kondisi pasar modal dunia terus bergejolak dan menghambat akses Indonesia terhadap dana eksternal. Pertumbuhan konsumsi domestik – yang selama ini cukup tangguh – juga diperkirakan akan melemah. Proyeksi keuangan juga terlihat rentan akibat belanja subsidi BBM.
Defisit neraca akun berjalan diperkirakan akan menyusut dari $31 milyar (3,5 persen PDB) di 2013 menjadi $23 milyar di 2014 (2,6 persen PDB), akibat lemahnya pertumbuhan impor dan permintaan ekspor yang meningkat secara moderat.
Dalam rangka menyikapi defisit neraca akun berjalan, yang perlu dilakukan bukanlah menekan tingkat impor, tetapi dengan menaikkan ekspor dan mengamankan ketersediaan dana eksternal, terutama investasi asing langsung (FDI).
“Langkah-langkah perbaikan terhadap iklim usaha sangat penting untuk menarik investasi. Membuat peraturan perdagangan dan logistik lebih sederhana juga dapat membantu mendongkrak ekspor,” kata Ndiame Diop, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, dalam pernyataan tertulisnya ke VIVAnews.
Tanggapan Indonesia
Sementara itu, kalangan pejabat Indonesia menyambut baik kajian O'Neill soal MINT. Diakui bahwa infrastruktur masih menjadi kelemahan bagi Indonesia dalam mewujudkan potensi menjadi kekuatan ekonomi baru.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengaku belum lama diwawancara O'Neill soal ini. "Dia mengakui Indonesia tengah dalam kondisi yang bagus. Berarti MINT itu kan bisa menjadi sangat potensial. Dia bahkan tidak khawatir dengan dampak tappering off [penarikan stimulus Bank Sentral AS], dia bilang ini jangka pendek," kata Chatib hari ini.
Wakil Menteri Keuangan RI, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa Indonesia masih butuh kerja keras untuk bangkit menjadi negara maju. "Infrastruktur kita masih ketinggalan, kualitas sumber daya manusia masih diperbaiki, anggaran harus dirapihkan dan perlu transformasi struktural," kata Bambang.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa menilai bahwa tantangan yang harus dilewati Indonesia saat ini adalah bagaimana tidak masuk dalam "perangkap negara berpenghasilan menengah," yang sulit bergerak ke atas menjadi negara maju. Dia melihat ada tiga faktor yang bisa membuat Indonesia bisa terjerembab ke middle income trap.
Pertama, gagal membangun infrastruktur. Kedua, tidak bisa mewujudkan kemandirian pangan dan energi. "Ketiga adalah masalah perlindungan sosial. Masih banyak masyarakat yang tertinggal sehingga disparitas itu harus dikurangi," kata Hatta.(sj)